Jumat, 22 Januari 2016

Arsitektur Lingkungan Tema Kawasan bangunan ekologi

Arsitektur Lingkungan Tema Kawasan bangunan ekologi


KAWASAN BINAAN EKOLOGI

PENGERTIAN EKOLOGI
Ekologi adalah ilmu yang mempelajari tentang apa saja interaksi sosial dan bermasyaraka dan juga  interaksi antara organisme dengan lingkungannya dan yang lainnya. Berasal dari kata Yunani oikos ("habitat") dan logos ("ilmu"). Ekologi diartikan
sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya. Istilah ekologi pertama kali dikemukakan oleh Ernst Haeckel (1834 - 1914). Dalam ekologi, makhluk hidup dipelajari sebagai kesatuan atausistem dengan lingkungannya.
Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan berbagai komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotikdan biotik. Faktor abiotik antara lain suhu, air, kelembaban, cahaya, dan topografi, sedangkan faktor biotik adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba. Ekologi juga berhubungan erat dengan tingkatan-tingkatan organisasi makhluk hidup, yaitu populasi, komunitas, dan ekosistem yang saling memengaruhi dan merupakan suatu sistem yang menunjukkan kesatuan.
Ekologi merupakan cabang ilmu yang masih relatif baru, yang baru muncul pada tahun 70-an.Akan tetapi, ekologimempunyai pengaruh yang besar terhadap cabang biologinya. Ekologi mempelajari bagaimana makhluk hidup dapat mempertahankan kehidupannya dengan mengadakan hubungan antar makhluk hidup dan dengan benda tak hidup di dalam tempat hidupnya atau lingkungannya. Ekologi, biologi dan ilmu kehidupan lainnya saling melengkapi dengan zoologi dan botani yang menggambarkan hal bahwa ekologi mencoba memperkirakan, dan ekonomi energi yang menggambarkan kebanyakan rantai makanan manusia dan tingkat tropik.
Para ahli ekologi mempelajari hal berikut.
1.           Perpindahan energi dan materi dari makhluk hidup yang satu ke makhluk hidup yang lain ke dalam lingkungannya dan faktor-faktor yang menyebabkannya.
2.           Perubahan populasi atau spesies pada waktu yang berbeda dalam faktor-faktor yang menyebabkannya.
3.           Terjadi hubungan antarspesies (interaksi antarspesies) makhluk hidup dan hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya.
Kini para ekolog(orang yang mempelajari ekologi)berfokus kepada Ekowilayah bumi dan riset perubahan iklim.
Salah satu contoh kawasan Ekologis adalah pada bangunan rumah yang ada di BORNEO DAN SURABAYA

CONTOH BINAAN EKOLOGI PADA BANGUNAN DAN WISATA

Indonesia merupakan negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang terkaya setelah negara Brasil. Secara bioregional Indonesia terbagi menjadi tujuh biogeografik region, yaitu bio-regional Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Kepulauan Sunda Kecil, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya. Dalam setiap bioregional tersebut telah ditetapkan sejumlah taman nasional (Sugandhy, 2006). Selain itu, Indonesia kaya akan budaya baik yang tangible (tersentuh) maupun intangible (tidak tersentuh). Contohnya, candi, mesjid kuna dan lain-lain, maupun benda budaya yang intangible, yaitu benda tak berwujud.
Benda-benda budaya seperti sastra, musik, permainan dan olah raga tradisional, teater, dan tata upacara juga ikut berperan dalam proses pembentukan karakter bangsa. Modal heritage/warisan tersebut dapat pula berperan sebagai sumber devisa/moneter yang non destructive  dengan mengedepankan upaya konservasi pada cultural heritage (warisan budaya) dan natural heritage(warisan alam) (Komunikasi pribadi dengan Dr. dr. Boedhihartono, Ahli Antropologi Universitas Indonesia, Jakarta pada tanggal 12 April 2011).
Sebagai catatan, di Indonesia menurut Departemen Kebudayaan dan Pariwisata  hingga November 2008 terdapat 8.449 BCB/ Situs yang telah di Inventarisasi dan ada 408 BCB/Situs yang baru ditetapkan diseluruh Indonesia, dan yang hanya dipelihara hanya 1.847 BCB/Situs yang dipelihara (Direktorat Purbakala, Ditjen Sejarah dan Purbakala, 2008). Ini berarti bahwa seperdelapan saja dari total BCB yang dipelihara hingga kini. Oleh karenanya telah banyak terjadi kehancuran Benda Cagar Budaya baik fisik bangunannya maupun lingkungannya (Mundardjito, 1995).
Belum lagi masyarakat-masyarakat tradisional di Indonesia yang semakin hari semakin menyusut hutan-hutan tempat mereka hidup, seperti penebangan liar (illegal logging). Sebut saja, Masyarakat yang hidup dan tergantung dari hutan di Indonesia adalah masyarakat pedalaman, yang terdiri dari masyarakat pemburu dan peramu; masyarakat peladang berpindah; masyarakat peladang menetap dan masyarakat pertanian menetap. Pada masyarakat pemburu dan peramu sangat tergantung dari sumber daya alam atau hutan. Lingkungan hutan tropis banyak dimanfaatkan dengan teknologi dan pengetahuan tradisonal untuk kegiatan subsistensi. Misalnya, Suku Anak Dalam di pedalaman Jambi, Orang Sakai di pedalaman Riau, Orang Asmat di pedalaman Irian Jaya bagian selatan, Orang Nuaulu di pedalaman Pulau Seram, Maluku. Masyarakat pemburu dan peramu ini banyak terdapat pada kawasan hutan lindung.
Bagi masyarakat peladang berpindah (slash and burn farmer), mamanfaatkan kesuburan tanah hutan dan potensi lingkungan hutan yang relatif luas untuk kelangsungan hidupnya. Kehidupan ekonomi mereka sehari-hari ditandai oleh kegiatan berladang tanaman pangan (padi-padian atau ubi-ubian) secara berpindah-pindah secara teratur (berpindah di lahan hutan). Pemberlakuan masa bera (hutan sebelum dan sesudah digunakan untuk ladang) biasa disebut juga dengan hutan sekunder (sunda:huma). Pada saat ini, masyarakat peladang berpindah tidak hanya mengandalkan tanaman pangan. Tetapi makin banyak didukung oleh penjualan hasil hutan seperti kayu, rotan, dan damar. Selain itu, masyarakat telah menanam tanaman komoditi, seperti kopi, karet, coklat, cengkeh, dan sebagainya. Contohnya adalah Orang Talang Mamak di pedalaman Riau, Orang Dayak (Kantu) di pedalaman Kalimantan Tengah, Orang Baduy di Jawa Barat, Orang Wana di pedalaman Sulawesi Tengah, dan Orang Dani di pedalaman Irian Jaya.
Masyarakat peladang menetap memanfaatkan sumber daya pertanian dan hutan untuk tanaman komoditi ekspor. Seperti, masyarakat Siladang yang berladang gambir di pedalaman Sumatera Barat, masyarakat Rejang Lebong yang berladang kopi di pedalaman Bengkulu, masyarakat Talang Mamak di Indragiri Hulu atau Kuantan dan Kampar yang berkebun karet di pedalaman Riau, masyarakat Pamona atau Loinang yang berkebun coklat (cocoa) di pedalaman Sulawesi Tengah, atau suku-suku bangsa yang berkebun coklat di pedalaman Sarmi, Irian Jaya (Purba, 2005:42-57).
Revitalisasi nilai-nilai sosial, budaya, dan kearifan lingkungan lokal kampung-kampung tradisional sangat bersentuhan dengan pembangunan berkelanjutan berbasis lingkungan. Pendekatan terpadu dan terintegrasi antara lansekap ekologi dengan kearifan lingkungan masyarakat dalam konteks pembangunan berkelanjutan belum menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat, karena hanya menitikberatkan sektor pariwisata saja. Oleh karena itu prinsip lingkungan seperti keberlanjutan lingkungan (environmentally sustainable), dapat diterima oleh masyarakat lokal dan nasional (socially acceptable) dan teknologi managable (misalnya secara teknologi dapat ditingkatkan masalah daya dukung lingkungan pertaniannya).
Di ekoregion Jawa khususnya, tercatat sekitar ada sekitar 12 kampung adat Sunda yang masih memegang tradisi penjagaan hutan dan sumber air dan dijadikan objek kunjungan wisata oleh pemerintah setempat. Oleh karena itu, kampung-kampung tersebut dijadikan acuan oleh pemerintah untuk pola pembangunan pariwisata berkelanjutan, baik sebagian masuk kepada ekowisata (Yunas, 2007), maupun rural tourism, natural tourism, dan cultural tourism.
Pembangunan pariwisata berkelanjutan, seperti dalam Piagam Pariwisata Berkelanjutan (1995) adalah pembangunan yang dapat didukung secara ekologis sekaligus layak secara ekonomi, juga adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat. Sedang menurut World Tourism Organization (WTO) mendefinisikan pembangunan pariwisata berkelanjutan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan wisatawan saat ini, sambil melindungi dan mendorong kesempatan untuk waktu yang akan datang (Haryanto, 2012: 4-5). Lebih lanjut, pada awalnya konsep pariwisata berkelanjutan dalam bentukarea protection sebagai sarana untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan misalnya Taman Nasional. Namun demikian seiring dengan perkembangan teori, salah satu bentuk produk pariwisata sebagai turunan dari konsep pembangunan berkelanjutan adalah konsep ekowisata. Dimana fokus utama ekowisata ini adalah gabungan berbagai kepentingan yang muncul dari kepedulian terhadap masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan. Kelestarian alam dan budaya juga dikedepankan (Dirawan, 2008 dalam Haryanto, 2012: 5-6).
Ekowisata adalah sebagian dari sustainable tourism. Sustainable tourism adalah sektor ekonomi yang lebih luas dari ekowisata yang mencakup sektor-sektor pendukung kegiatan wisata secara umum, meliputi wisata bahari (beach and sun tourism), wisata pedesaan (rural and agro tourism), wisata budaya (cultural tourism), atau perjalanan bisnis (business travel). Ekowisata berpijak pada wisata pedesaan, wisata alam dan wisata budaya (Nugroho, 2011: 15).
Kampung-kampung tradisional adat Sunda yang berada di ekoregion Jawa, khususnya Jawa Barat secara vegetasi banyak didominasi oleh hutan hujan tropis dataran rendah (lowland tropical rainforest) (Whitten, 1999) dan berdasarkan pembagian ekosistem hutan oleh van Stenis (1972) diklasifikasikan berdasarkan ketinggian tempat termasuk pada Zona Colin yang mencapai ketinggian antara 500—1000 meter di atas permukaan laut dan biasanya didominasi vegetasi yang unik yakni Rasamala (Altingia excelsa), Saninten (Castanopsis javanica), Kiriung Anak (C. accuminatissimia), dan Pasang (Quercus gemelliflora).
Bebarapa kampung-kampung tradisional adat Sunda di antaranya adalah Kampung Baduy Desa Ciboleger, Banten Selatan; Kampung Kasepuhan (Ciptagelar, Sirnaresmi, dan lain-lain) di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak yang masuk dalam Kabupaten Sukabumi; Kampung Mahmud Desa Mekarrahayu, Margaasih, Bandung; Kampung Cikondang Desa Lamajang, Pangalengan, Bandung; Kampung Kuta Desa Karangpaningal, Tambaksari, Ciamis; Kampung Naga Desa Neglasari, Sawalu, Tasikmalaya; Kampung Dukuh Desa Cijambe, Cikelet, Kabupaten Garut; Kampung Pulo Desa Cangkuang, Leles, Kabupaten Garut; Kampung Urug, Desa Kiarapandak, Sukajaya, Bogor; Kampung Tonggoh Desa Cilaut, Kecamatan Pameungpeuk, Kabupaten Garut; Kampung Cigenclang Desa Cisampih, Kecamatan Kalijati, Kabupaten Subang; dan Kampung Palastra, Kecamatan Palastra, Kabupaten Majalengka.
Seiring juga dengan makin menyusutnya hutan alam di Pulau Jawa, yang rata-rata kerusakan setiap tahun adalah 1,3 juta ha (1,2%) hingga akhir tahun 1980-an, tutupan hutan alam di Jawa hanya tinggal 0,97 juta ha atau 7% dari luas total Pulau Jawa (Hidayat, 2008:88). Maka modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat adat diharapkan untuk menjaga agar tutupan lahan (land coverage) masih dapat terjaga, baik itu dalam bentuk wanatani (agroforestry) maupun destinasi wisata desa-desa konservasi yang berwawasan lingkungan, khususnya kampung-kampung tradisional Sunda di Jawa Barat.
Dibandingkan dengan daerah tujuan wisata di Pulau Jawa lainnya, ada beberapa alasan mengapa kampung-kampung adat Sunda ini memiliki kelebihan. Diantaranya adalah: 1. Dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur yang secara kuantitas lebih banyak memiliki objek dead monument, seperti peninggalan purbakala (candi, megalitik, dan lain sebagainya) dibandingkan dengan living monument, seperti masyarakat tradisional. 2. Kampung-kampung yang tersebar di Jawa Barat secara sosial-budaya memiliki banyak persamaan, seperti sistem nilai (value system) dalam konservasi hutan (leuweung). 3. Di Jawa Barat memiliki karakteristik ekosistem hutan hujan dataran rendah (lowland tropical rain forest) yang memiliki keanekaragam yang tinggi (endemik: Owa Jawa/Hylobath moloch, Elang Jawa/Spizaetus barthlesi, dan lainnya). Ditambah karakter sosial-kultural masyarakatnya yang berbeda dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur.

KAWASAN EKOLOGI PADA ADAT TRADISIONAL SUNDA

Kearifan lingkungan binaan di pedesaan Sunda telah banyak diteliti dan dimanfaatkan (revitalisasi). Istilah Sunda dan Jawa Barat dewasa ini menunjuk pada pengertian kebudayaan, etnis, geografis, administrasi pemerintahan dan sosial. Sunda, Tanah Sunda, Tatar Sunda, Pasundan, dan Tanah Pasundancenderung digunakan dalam rangka pengertian orang dan kebudayaan (Ekadjati, 1995: 14). Perkembangan masyarakat Jawa Barat yang berintikan kebudayaan Sunda bertitik tolak dari corak kehidupan desa (yang terdiri dari beberapa kampung). Kemudian, pada lingkungan-lingkungan masyarakat tertentu, terutama di lingkungan pusat perdagangan, berkembang menuju kearah corak kehidupan kota. Pada masyarakat desa di Sunda ditandai oleh kehidupan yang cenderung homogen dan berputar sekitar kehidupan bertani yang dulunya berladang (Ekadjati, 1995: 109).
Menurut Ekadjati (1995: 125-128) lebih lanjut, pembagian desa Sunda bisa dibagi menjadi letak geografisnya (desa pegunungan, desa dataran rendah, dan desa pantai). Berdasarkan mata pencahariannya (desa pertanian, desa nelayan, dan desa kerajinan). Berdasarkan pengelompokan bangunannnya (desa linear, desa radial, desa di sekitar alun-alun atau lapangan terbuka). Penyebaran dan perluasan kampung-kampung suatu desa memungkinkan terbentuknya dua macam pola desa tersebar dan terkonsentrasi. Desa yang berpola tersebar ialah desa-desa yang lokasi kampung-kampungnya tersebar di beberapa tempat yang terpisah oleh sawah, kebun, sungai, jalan, bukit, lembah, atau hutan.
Adapun desa yang berpolakan konsentrik ialah desa yang letak kampung-kampungnya berpusat di satu lokasi tertentu biasanya mengelilingi bangunan-bangunan sarana desa (balai desa, mesjid, sekolah, madrasah). Pada umumnya, desa dengan pola terkonsentrasi luas wilayahnya lebih sempit dari pada desa dengan pola tersebar. Pola kampung-kampung di dekat kawasan hutan biasanya terkait dengan ekoreligi padi. Kawasan bukit atau gunung adalah suatu tempat yang mempunyai arti yang sangat penting. Ada keterkaitan antara gunung dengan kepercayaan bahwa arwah bersemayam di gunung tersebut. Kini gunung ataupun bukit memiliki arti keramat bagi masyarakat sekitarnya. Gunung atau bukit dianggap memberikan kehidupan, karena sebagian besar masyarakatnya bermata-pencaharian berladang dan bertani (personifikasi Dewi Padi sebagai simbol kesuburan dan pelindung pertanian). Oleh karena itu, bukit atau gunung yang masih memiliki tegakkan pohon (misalnya dianggap oleh warga Kasepuhan sebagai sirah cai (kepala air) atau leuweung).
Pada kampung-kampung di batasi oleh daerah yang sakral (leluhur) sebagai pelindung kampung dan di kelilingi oleh sungai yang mengalir sebagai simbol kesuburan. Orientasi kampung biasannya mengacu pada arah terbit-tenggelamnya matahari. Selain itu adanya hubungan antara tata letak rumah dan lumbung (leuit) yang memiliki arah hadap barat-timur (Wessing, 2003: 521-523).
Konsep wilayah masyarakat Sunda berbentuk kampung dipengaruhi oleh konsep patempatan.Patempatan adalah konsep (norma) tentang tempat, sedangkan kampung terikat dengan batas wilayah penduduk adat-istiadat (komunitas). Di pedesaan, pola kampung masyarakat Sunda biasanya dipengaruhi oleh mata pencaharian. Masyarakat Sunda umumnya memberikan penamaan pada kampung mereka berdasarkan pada fenomena seperti ukuran kampung, letak kampung menurut arah angin, tinggi rendah kontur, waktu pembentukan kampung, kedekatan dengan sungai, atau gunung yang ada di sekitarnya. Berdasarkan perbedaan ukuran kampung, terdapat istilah kampung gede untuk pemukiman besar, kampung untuk pemukiman sedang, dan kampung leutik untuk pemukiman yang jumlah rumahnya relatif sedikit (tetapi lebih besar dari babakan) (Salura, 2007:22). Tabel berikut menjelaskan hubungan manusia Sunda dengan kompleks wadah dan tempat serta empat kategori wadah.

DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar