Rabu, 13 Mei 2015

Manusia Dan Harapan

Harapan Di Hari Tua: Kisah Seorang Opa

     Suatu hari seorang teman saya pergi ke rumah orang jompo atau lebih terkenal dengan sebutan panti werdha bersama dengan teman-temannya. Kebiasaan ini mereka lakukan untuk lebih banyak mengenal bahwa akan lebih membahagiakan kalau kita bisa berbagi pada orang-orang yang kesepian dalam  hidupnya.

     Ketika teman saya sedang berbicara dengan beberapa ibu tua, tiba-tiba mata teman saya tertumpu pada seorang opa tua yang duduk menyendiri sambil menatap kedepan dengan tatapan kosong.Lalu sang teman mencoba  mendekati opa itu dan mencoba mengajaknya berbicara. Perlahan tapi pasti sang opa akhirnya mau mengobrol dengannya sampai akhirnya si opa menceritakan tentang kisah hidupnya.


     
     Si opa memulai cerita tentang hidupnya sambil menghela napas panjang.
Sejak masa muda saya menghabiskan waktu saya untuk terus mencari usaha yang baik untuk keluarga saya, khususnya untuk anak-anak yang sangat saya cintai. Sampai akhirnya saya mencapai puncaknya dimana kami bisa tinggal di rumah yang sangat besar dengan segala fasilitas yang sangat bagus.Demikian pula  dengan anak-anak saya, mereka semua berhasil sekolah sampai keluar negeri dengan biaya yang tidak pernah saya batasi. Akhirnya mereka semua berhasil dalam sekolah, usahanya, dan juga dalam berkeluarga.
Tibalah  dimana kami sebagai orangtua merasa  sudah saatnya pensiun dan menuai hasil panen kami.

     Tiba-tiba istri tercinta saya yang selalu setia menemani sejak saya memulai kehidupan ini meninggal dunia karena sakit yang sangat mendadak. Lalu sejak kematian istri saya tinggallah saya hanya dengan para pembantu kami karena anak-anak kami semua tidak ada yang mau menemani saya karena mereka sudah mempunyai rumah yang juga besar.
Hidup saya rasanya hilang, tiada lagi orang yang mau menemani saya setiap saat saya memerlukannya. Tidak sebulan sekali anak-anak mau menjenguk saya  ataupun memberi kabar melalui telepon.

     Lalu tiba-tiba anak sulung saya datang dan mengatakan kalau dia akan menjual rumah karena selain tidak effisien juga toh saya dapat ikut tinggal dengannya.Dengan hati yang berbunga saya menyetujuinya karena toh saya juga tidak memerlukan rumah besar lagi, tapi tanpa ada orang-orang yang saya kasihi di dalamnya. Setelah itu saya ikut dengan anak saya yang sulung.Tapi apa yang saya dapatkan? setiap hari mereka sibuk sendiri-sendiri dan kalaupun mereka ada di rumah tak pernah sekalipun mereka mau menyapa saya. Semua keperluan saya pembantu yang memberi.
 
     Untunglah saya selalu hidup teratur dari muda maka meskipun sudah tua saya tidak pernah sakit-sakitan. Lalu saya tinggal di rumah anak saya yang lain.Saya berharap kalau saya akan mendapatkan suka cita di dalamnya, tapi rupanya tidak. Yang lebih menyakitkan semua alat-alat untuk saya pakai mereka ganti, mereka menyediakan semua peralatan dari kayu dengan alasan untuk keselamatan saya, tapi sebetulnya mereka sayang dan takut kalau saya memecahkan alat-alat mereka yang mahal-mahal itu. Setiap hari saya makan dan minum dari alat-alat kayu atau plastik yang sama dengan yang mereka sediakan untuk para pembantu dan anjing mereka.
 
     Setiap hari saya makan dan minum sambil mengucurkan airmata dan bertanya dimanakah hati nurani mereka?Akhirnya saya tinggal dengan anak saya yang  terkecil, anak yang dulu sangat saya kasihi melebihi yang lain karena dia dulu adalah seorang anak yang sangat memberikan kesukacitaan pada kami semua.Tapi apa yang saya dapatkan? setelah beberapa lama saya tinggal di sana akhirnya anak saya dan  istrinya mendatangi saya lalu mengatakan bahwa mereka akan mengirim  saya  untuk tinggal di panti jompo dengan alasan supaya saya punya teman untuk berkumpul dan juga mereka berjanji akan selalu mengunjungi saya.
 
     Sekarang sudah 2 tahun saya di sini, tapi tidak sekalipun dari mereka yang datang untuk mengunjungi saya apalagi membawakan makanan kesukaan saya.
Hilanglah semua harapan saya tentang anak-anak yang saya besarkan dengan segala kasih sayang dan kucuran keringat. Saya bertanya-tanya mengapa kehidupan hari tua saya demikian menyedihkan padahal saya bukanlah orang tua yang menyusahkan, semua harta saya mereka ambil. Saya hanya minta sedikit perhatian dari mereka, tapi mereka sibuk dengan diri sendiri.

     Kadang saya menyesali diri mengapa saya bisa mendapatkan anak-anak yang demikian buruk. Masih untung di sini saya punya teman-teman dan juga kunjungan dari sahabat-sahabat yang mengasihi saya, tapi tetap saya merindukan anak-anak saya.
Sejak itu teman saya selalu menyempatkan diri untuk datang ke sana dan berbicara dengan sang opa.Lambat laun, tapi pasti kesepian di mata sang opa berganti dengan keceriaan apalagi kalau sekali-sekali teman saya membawa serta anak-anaknya untuk  berkunjung.
Saya seorang anak tunggal. Andre, begitulah  teman-teman memanggil saya dan nama panjang saya Andreas Robby Sanjaya. Umur saya 24 tahun dan saat ini saya sedang menjalani kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Sebelum saya tinggal di Jakarta, saya tinggal di kota medan bersama ayah dan ibu kandung saya. Namun, setelah kepergian ayah kandung saya, saya diajak ibu tinggal di Jakarta bersama ayah tiri saya.
Saya ingin berbagi kisah yang sampai saat ini masih menjadi sebuah harapan dalam hidup saya sebagai seorang anak yang merindukan seorang ayah. Saya mengingat-ingat kisah indah dan manis ketika saya masih bersama ayah kandung saya dulu. Namun, saya pernah benci dan marah kepada ayah yaitu ketika saya masih duduk di bangku SMA saya  meminta motor dan ditolak oleh ayah. Ayah sangat sering menolak permintaan saya. Kalaupun tidak ditolak pasti ditunda-tunda. Itu pun setelah ditanya macam-macam.
Sementara saya juga tak bisa mengharapkan pemberian ibu karena ibu yang saya panggil dengan sebutan “emak”, hanya ibu rumah tangga dan hanya memegang uang belanja saja. Saking kesalnya saya mengeluh dihadapan ayah kalau saya tak ubahnya seperti anak tiri. Akhirnya, ayah mengabulkan keinginan saya dengan syarat saya harus menjadi juara kelas. Meski berat saya berusaha untuk menyanggupi syarat itu, saya belajar keras agar menjadi juara kelas dan mendapatkan motor. Sampai akhirnya saya lulus dan menjadi juara kelas, saya segera pulang  dengan penuh harap kalau motor yang saya ingini telah dibelikan ayah. Namun, sesampai saya dirumah saya sangat kecewa karena saya tidak melihat motor yang saya harapkan itu. Saya langsung mencari ayah. Saya panggil ayah dengan suara yang keras tapi tidak ada jawaban dari ayah. Ketika saya masuk ke kamar ayah, saya hanya mendapati ibu yang sedang bersiap-siap untuk pergi ke suatu acara.
“Mak, ayah mana?”
“Udah… gak usah lagi cari ayahmu, dia udah pergi”, jawab ibu sambil memakai make up.
“Maksud emak ?”, tanya saya bingung.
Ibu melihat saya sebentar dan kembali menatap cermin,“Ayah kamu pergi ninggalin kita buat selamanya”.
Saya semakin bingung.
“Emang ayah pergi kemana mak?”
Ibu memukul meja,”Kamu jangan banyak tanya!!! Pokoknya ayah kamu gak bakal pulang ke rumah ini lagi. NGERTI!!!”
Saya langsung terdiam mendengar jawaban ibu tadi. Saya pergi ke kamar meninggalkan ibu dengan hati penuh tanya. Sesampai di kamar saya langsung duduk termenung dan sayapun tersadar bahwa ayah saya sebenarnya memiliki masalah yang sangat besar sampai menyebabkan ayah pergi dari rumah meninggalkan saya dan ibu. Saya amat sangat merasa bersalah kepada ayah karena sempat membenci beliau. Sejak kepergian ayah, saya yang tadinya seorang yang periang berubah menjadi seorang yang pemurung. Sering menyendiri. Tak mau lagi berkawan dengan teman-teman. Karena saya cuma mengharapkan kepulangan Ayah
Setiap malam saya menangis mengharapkan ayah pulang.
Saya bertanya dalam hati “Apakah ayah telah melupakan saya?”.
Ayah tak pulang-pulang hingga hari ini.
Sebulan setelah kepergian ayah, ibu memperkenalkan seorang pria kepada saya. Ibu mengatakan kalau pria itu hanyalah temannya saja. Namun, kenyatanya sebulan setelah perkenalan itu ibu menikah dengan pria tersebut. Dan kini saya benar-benar telah menjadi anak tiri.
Kemudian setelah ibu menikah dengan pria itu, saya diajak ibu pindah ke Jakarta untuk tinggal serumah dengan ayah tiri saya. Dan kami tinggal bertiga di sana. Saya merasa tidak nyaman tinggal di sana. Dan saya meminta kepada ibu supaya saya tinggal bersama nenek di Jogja. Namun, ibu tidak memperbolehkan saya tinggal  bersama nenek. Kata Ibu nanti sulit mengawasi saya. Lagipula nenek sudah tua. Bener juga kata ibu.
Setelah sekian lama saya tinggal di Jakarta saya sering bermimpi bertemu dengan ayah. Sampai pada suatu siang yang terik ketika saya duduk termenung di kamar, saya seperti mendengar suara bisikan yang sangat lembut. Suara tersebut menyuruh saya untuk mencari Ayah ke Sumatera, ke Kota Medan. Saya langsung mencuri uang Ayah tiri saya dan pergi ke sana sendirian dengan menggunakan bus. Sesampai di kota Medan saya berusaha mencari ayah selama beberapa hari. Tetapi saya kehabisan uang, lalu saya mulai mengemis dari rumah ke rumah. Sampai suatu ketika saya ditangkap polisi. Saya bertanya, “Apa salah saya?” Katanya kamu termasuk daftar pencarian orang hilang, dan akan dikirim kembali ke Jakarta. Saya benar-benar kecewa karena saya tidak berhasil menemukan ayah di sana.
Sejak saat itu saya semakin banyak mendengar suara-suara yang menyuruh saya ini dan itu. Namun kini saya tak bisa apa-apa karena seorang paman dari pihak ayah tiri saya, ditugaskan untuk menjaga ke mana pun saya pergi, termasuk ketika di sekolah. Ruang gerak saya semakin sempit. Saya merasa menjadi seperti tawanan.
Suara-suara lembut itu semakin banyak dan mulai mengajak saya berbincang-bincang ketika saya sedang sendirian. Namun, sejak saat itu pula ibu jadi sering memarahi saya. “Kenapa?”, saya bertanya. Katanya saya sering berbicara dan tertawa sendiri. Saya jawab itu tidak benar. Suara -suara itulah yang mengajak saya mengobrol, mereka adalah kawan-kawan setia saya.
Ibu saya benar-benar seorang yang keji. Ia malah memasukkan saya ke rumah sakit jiwa Grogol. Saya berulang kali berteriak bahwa saya tidak gila. Namun, Ibu saya yang bengis tak peduli, ia tetap menyeret saya ke rumah sakit jiwa. Dari Grogol, saya pernah kabur namun saya tertangkap lalu dimasukkan ke dalam ruangan yang mirip neraka sebab pasien-pasien di dalamnya saling membenci dan kerap berkelahi satu sama lain. Saya pernah kena tinju, mengkibatkan sudut bibir saya berdarah. Karena ibu mengagap pada diri saya tidak ada perubahan untuk sembuh, kemudian ibu memindahkan saya ke rumah sakit jiwa Bogor. Di sana lebih tenang, saya suka. Namun, lagi-lagi ibu saya bertindak sewenang-wenang, ia mengeluarkan saya setelah tiga tahun berada di sana. Katanya di sana saya tak sembuh-sembuh dan akhirnya ibu sadar bahwa saya sebenarnya tidak gila.
Pada Pak Jaka, perawat yang berjaga sore itu, saya pamit pulang. Dengan pikiran yang penuh dan perasaan yang terharu, aku beranjak pergi. Lampu tabung yang remang-remang dan bayangan pada dinding-dinding putih rumah sakit mengiringi langkahku keluar dari bangsal psikiatri itu. Serayah kepak sayap kelelawar tak berbunyi di angkasa. Begitu juga dengan ruang yang baru saja kutinggalkan. Senyap. Tak ada suara.
- See more at: http://www.kupasbuku.com/cerpen/harapan-seorang-anak-tiri#sthash.gDGkJkiY.dpuf
Saya seorang anak tunggal. Andre, begitulah  teman-teman memanggil saya dan nama panjang saya Andreas Robby Sanjaya. Umur saya 24 tahun dan saat ini saya sedang menjalani kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Sebelum saya tinggal di Jakarta, saya tinggal di kota medan bersama ayah dan ibu kandung saya. Namun, setelah kepergian ayah kandung saya, saya diajak ibu tinggal di Jakarta bersama ayah tiri saya.
Saya ingin berbagi kisah yang sampai saat ini masih menjadi sebuah harapan dalam hidup saya sebagai seorang anak yang merindukan seorang ayah. Saya mengingat-ingat kisah indah dan manis ketika saya masih bersama ayah kandung saya dulu. Namun, saya pernah benci dan marah kepada ayah yaitu ketika saya masih duduk di bangku SMA saya  meminta motor dan ditolak oleh ayah. Ayah sangat sering menolak permintaan saya. Kalaupun tidak ditolak pasti ditunda-tunda. Itu pun setelah ditanya macam-macam.
Sementara saya juga tak bisa mengharapkan pemberian ibu karena ibu yang saya panggil dengan sebutan “emak”, hanya ibu rumah tangga dan hanya memegang uang belanja saja. Saking kesalnya saya mengeluh dihadapan ayah kalau saya tak ubahnya seperti anak tiri. Akhirnya, ayah mengabulkan keinginan saya dengan syarat saya harus menjadi juara kelas. Meski berat saya berusaha untuk menyanggupi syarat itu, saya belajar keras agar menjadi juara kelas dan mendapatkan motor. Sampai akhirnya saya lulus dan menjadi juara kelas, saya segera pulang  dengan penuh harap kalau motor yang saya ingini telah dibelikan ayah. Namun, sesampai saya dirumah saya sangat kecewa karena saya tidak melihat motor yang saya harapkan itu. Saya langsung mencari ayah. Saya panggil ayah dengan suara yang keras tapi tidak ada jawaban dari ayah. Ketika saya masuk ke kamar ayah, saya hanya mendapati ibu yang sedang bersiap-siap untuk pergi ke suatu acara.
“Mak, ayah mana?”
“Udah… gak usah lagi cari ayahmu, dia udah pergi”, jawab ibu sambil memakai make up.
“Maksud emak ?”, tanya saya bingung.
Ibu melihat saya sebentar dan kembali menatap cermin,“Ayah kamu pergi ninggalin kita buat selamanya”.
Saya semakin bingung.
“Emang ayah pergi kemana mak?”
Ibu memukul meja,”Kamu jangan banyak tanya!!! Pokoknya ayah kamu gak bakal pulang ke rumah ini lagi. NGERTI!!!”
Saya langsung terdiam mendengar jawaban ibu tadi. Saya pergi ke kamar meninggalkan ibu dengan hati penuh tanya. Sesampai di kamar saya langsung duduk termenung dan sayapun tersadar bahwa ayah saya sebenarnya memiliki masalah yang sangat besar sampai menyebabkan ayah pergi dari rumah meninggalkan saya dan ibu. Saya amat sangat merasa bersalah kepada ayah karena sempat membenci beliau. Sejak kepergian ayah, saya yang tadinya seorang yang periang berubah menjadi seorang yang pemurung. Sering menyendiri. Tak mau lagi berkawan dengan teman-teman. Karena saya cuma mengharapkan kepulangan Ayah
Setiap malam saya menangis mengharapkan ayah pulang.
Saya bertanya dalam hati “Apakah ayah telah melupakan saya?”.
Ayah tak pulang-pulang hingga hari ini.
Sebulan setelah kepergian ayah, ibu memperkenalkan seorang pria kepada saya. Ibu mengatakan kalau pria itu hanyalah temannya saja. Namun, kenyatanya sebulan setelah perkenalan itu ibu menikah dengan pria tersebut. Dan kini saya benar-benar telah menjadi anak tiri.
Kemudian setelah ibu menikah dengan pria itu, saya diajak ibu pindah ke Jakarta untuk tinggal serumah dengan ayah tiri saya. Dan kami tinggal bertiga di sana. Saya merasa tidak nyaman tinggal di sana. Dan saya meminta kepada ibu supaya saya tinggal bersama nenek di Jogja. Namun, ibu tidak memperbolehkan saya tinggal  bersama nenek. Kata Ibu nanti sulit mengawasi saya. Lagipula nenek sudah tua. Bener juga kata ibu.
Setelah sekian lama saya tinggal di Jakarta saya sering bermimpi bertemu dengan ayah. Sampai pada suatu siang yang terik ketika saya duduk termenung di kamar, saya seperti mendengar suara bisikan yang sangat lembut. Suara tersebut menyuruh saya untuk mencari Ayah ke Sumatera, ke Kota Medan. Saya langsung mencuri uang Ayah tiri saya dan pergi ke sana sendirian dengan menggunakan bus. Sesampai di kota Medan saya berusaha mencari ayah selama beberapa hari. Tetapi saya kehabisan uang, lalu saya mulai mengemis dari rumah ke rumah. Sampai suatu ketika saya ditangkap polisi. Saya bertanya, “Apa salah saya?” Katanya kamu termasuk daftar pencarian orang hilang, dan akan dikirim kembali ke Jakarta. Saya benar-benar kecewa karena saya tidak berhasil menemukan ayah di sana.
Sejak saat itu saya semakin banyak mendengar suara-suara yang menyuruh saya ini dan itu. Namun kini saya tak bisa apa-apa karena seorang paman dari pihak ayah tiri saya, ditugaskan untuk menjaga ke mana pun saya pergi, termasuk ketika di sekolah. Ruang gerak saya semakin sempit. Saya merasa menjadi seperti tawanan.
Suara-suara lembut itu semakin banyak dan mulai mengajak saya berbincang-bincang ketika saya sedang sendirian. Namun, sejak saat itu pula ibu jadi sering memarahi saya. “Kenapa?”, saya bertanya. Katanya saya sering berbicara dan tertawa sendiri. Saya jawab itu tidak benar. Suara -suara itulah yang mengajak saya mengobrol, mereka adalah kawan-kawan setia saya.
Ibu saya benar-benar seorang yang keji. Ia malah memasukkan saya ke rumah sakit jiwa Grogol. Saya berulang kali berteriak bahwa saya tidak gila. Namun, Ibu saya yang bengis tak peduli, ia tetap menyeret saya ke rumah sakit jiwa. Dari Grogol, saya pernah kabur namun saya tertangkap lalu dimasukkan ke dalam ruangan yang mirip neraka sebab pasien-pasien di dalamnya saling membenci dan kerap berkelahi satu sama lain. Saya pernah kena tinju, mengkibatkan sudut bibir saya berdarah. Karena ibu mengagap pada diri saya tidak ada perubahan untuk sembuh, kemudian ibu memindahkan saya ke rumah sakit jiwa Bogor. Di sana lebih tenang, saya suka. Namun, lagi-lagi ibu saya bertindak sewenang-wenang, ia mengeluarkan saya setelah tiga tahun berada di sana. Katanya di sana saya tak sembuh-sembuh dan akhirnya ibu sadar bahwa saya sebenarnya tidak gila.
Pada Pak Jaka, perawat yang berjaga sore itu, saya pamit pulang. Dengan pikiran yang penuh dan perasaan yang terharu, aku beranjak pergi. Lampu tabung yang remang-remang dan bayangan pada dinding-dinding putih rumah sakit mengiringi langkahku keluar dari bangsal psikiatri itu. Serayah kepak sayap kelelawar tak berbunyi di angkasa. Begitu juga dengan ruang yang baru saja kutinggalkan. Senyap. Tak ada suara.
- See more at: http://www.kupasbuku.com/cerpen/harapan-seorang-anak-tiri#sthash.gDGkJkiY.dpuf
Saya seorang anak tunggal. Andre, begitulah  teman-teman memanggil saya dan nama panjang saya Andreas Robby Sanjaya. Umur saya 24 tahun dan saat ini saya sedang menjalani kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Sebelum saya tinggal di Jakarta, saya tinggal di kota medan bersama ayah dan ibu kandung saya. Namun, setelah kepergian ayah kandung saya, saya diajak ibu tinggal di Jakarta bersama ayah tiri saya.
Saya ingin berbagi kisah yang sampai saat ini masih menjadi sebuah harapan dalam hidup saya sebagai seorang anak yang merindukan seorang ayah. Saya mengingat-ingat kisah indah dan manis ketika saya masih bersama ayah kandung saya dulu. Namun, saya pernah benci dan marah kepada ayah yaitu ketika saya masih duduk di bangku SMA saya  meminta motor dan ditolak oleh ayah. Ayah sangat sering menolak permintaan saya. Kalaupun tidak ditolak pasti ditunda-tunda. Itu pun setelah ditanya macam-macam.
Sementara saya juga tak bisa mengharapkan pemberian ibu karena ibu yang saya panggil dengan sebutan “emak”, hanya ibu rumah tangga dan hanya memegang uang belanja saja. Saking kesalnya saya mengeluh dihadapan ayah kalau saya tak ubahnya seperti anak tiri. Akhirnya, ayah mengabulkan keinginan saya dengan syarat saya harus menjadi juara kelas. Meski berat saya berusaha untuk menyanggupi syarat itu, saya belajar keras agar menjadi juara kelas dan mendapatkan motor. Sampai akhirnya saya lulus dan menjadi juara kelas, saya segera pulang  dengan penuh harap kalau motor yang saya ingini telah dibelikan ayah. Namun, sesampai saya dirumah saya sangat kecewa karena saya tidak melihat motor yang saya harapkan itu. Saya langsung mencari ayah. Saya panggil ayah dengan suara yang keras tapi tidak ada jawaban dari ayah. Ketika saya masuk ke kamar ayah, saya hanya mendapati ibu yang sedang bersiap-siap untuk pergi ke suatu acara.
“Mak, ayah mana?”
“Udah… gak usah lagi cari ayahmu, dia udah pergi”, jawab ibu sambil memakai make up.
“Maksud emak ?”, tanya saya bingung.
Ibu melihat saya sebentar dan kembali menatap cermin,“Ayah kamu pergi ninggalin kita buat selamanya”.
Saya semakin bingung.
“Emang ayah pergi kemana mak?”
Ibu memukul meja,”Kamu jangan banyak tanya!!! Pokoknya ayah kamu gak bakal pulang ke rumah ini lagi. NGERTI!!!”
Saya langsung terdiam mendengar jawaban ibu tadi. Saya pergi ke kamar meninggalkan ibu dengan hati penuh tanya. Sesampai di kamar saya langsung duduk termenung dan sayapun tersadar bahwa ayah saya sebenarnya memiliki masalah yang sangat besar sampai menyebabkan ayah pergi dari rumah meninggalkan saya dan ibu. Saya amat sangat merasa bersalah kepada ayah karena sempat membenci beliau. Sejak kepergian ayah, saya yang tadinya seorang yang periang berubah menjadi seorang yang pemurung. Sering menyendiri. Tak mau lagi berkawan dengan teman-teman. Karena saya cuma mengharapkan kepulangan Ayah
Setiap malam saya menangis mengharapkan ayah pulang.
Saya bertanya dalam hati “Apakah ayah telah melupakan saya?”.
Ayah tak pulang-pulang hingga hari ini.
Sebulan setelah kepergian ayah, ibu memperkenalkan seorang pria kepada saya. Ibu mengatakan kalau pria itu hanyalah temannya saja. Namun, kenyatanya sebulan setelah perkenalan itu ibu menikah dengan pria tersebut. Dan kini saya benar-benar telah menjadi anak tiri.
Kemudian setelah ibu menikah dengan pria itu, saya diajak ibu pindah ke Jakarta untuk tinggal serumah dengan ayah tiri saya. Dan kami tinggal bertiga di sana. Saya merasa tidak nyaman tinggal di sana. Dan saya meminta kepada ibu supaya saya tinggal bersama nenek di Jogja. Namun, ibu tidak memperbolehkan saya tinggal  bersama nenek. Kata Ibu nanti sulit mengawasi saya. Lagipula nenek sudah tua. Bener juga kata ibu.
Setelah sekian lama saya tinggal di Jakarta saya sering bermimpi bertemu dengan ayah. Sampai pada suatu siang yang terik ketika saya duduk termenung di kamar, saya seperti mendengar suara bisikan yang sangat lembut. Suara tersebut menyuruh saya untuk mencari Ayah ke Sumatera, ke Kota Medan. Saya langsung mencuri uang Ayah tiri saya dan pergi ke sana sendirian dengan menggunakan bus. Sesampai di kota Medan saya berusaha mencari ayah selama beberapa hari. Tetapi saya kehabisan uang, lalu saya mulai mengemis dari rumah ke rumah. Sampai suatu ketika saya ditangkap polisi. Saya bertanya, “Apa salah saya?” Katanya kamu termasuk daftar pencarian orang hilang, dan akan dikirim kembali ke Jakarta. Saya benar-benar kecewa karena saya tidak berhasil menemukan ayah di sana.
Sejak saat itu saya semakin banyak mendengar suara-suara yang menyuruh saya ini dan itu. Namun kini saya tak bisa apa-apa karena seorang paman dari pihak ayah tiri saya, ditugaskan untuk menjaga ke mana pun saya pergi, termasuk ketika di sekolah. Ruang gerak saya semakin sempit. Saya merasa menjadi seperti tawanan.
Suara-suara lembut itu semakin banyak dan mulai mengajak saya berbincang-bincang ketika saya sedang sendirian. Namun, sejak saat itu pula ibu jadi sering memarahi saya. “Kenapa?”, saya bertanya. Katanya saya sering berbicara dan tertawa sendiri. Saya jawab itu tidak benar. Suara -suara itulah yang mengajak saya mengobrol, mereka adalah kawan-kawan setia saya.
Ibu saya benar-benar seorang yang keji. Ia malah memasukkan saya ke rumah sakit jiwa Grogol. Saya berulang kali berteriak bahwa saya tidak gila. Namun, Ibu saya yang bengis tak peduli, ia tetap menyeret saya ke rumah sakit jiwa. Dari Grogol, saya pernah kabur namun saya tertangkap lalu dimasukkan ke dalam ruangan yang mirip neraka sebab pasien-pasien di dalamnya saling membenci dan kerap berkelahi satu sama lain. Saya pernah kena tinju, mengkibatkan sudut bibir saya berdarah. Karena ibu mengagap pada diri saya tidak ada perubahan untuk sembuh, kemudian ibu memindahkan saya ke rumah sakit jiwa Bogor. Di sana lebih tenang, saya suka. Namun, lagi-lagi ibu saya bertindak sewenang-wenang, ia mengeluarkan saya setelah tiga tahun berada di sana. Katanya di sana saya tak sembuh-sembuh dan akhirnya ibu sadar bahwa saya sebenarnya tidak gila.
Pada Pak Jaka, perawat yang berjaga sore itu, saya pamit pulang. Dengan pikiran yang penuh dan perasaan yang terharu, aku beranjak pergi. Lampu tabung yang remang-remang dan bayangan pada dinding-dinding putih rumah sakit mengiringi langkahku keluar dari bangsal psikiatri itu. Serayah kepak sayap kelelawar tak berbunyi di angkasa. Begitu juga dengan ruang yang baru saja kutinggalkan. Senyap. Tak ada suara.
- See more at: http://www.kupasbuku.com/cerpen/harapan-seorang-anak-tiri#sthash.gDGkJkiY.dpuf
Saya seorang anak tunggal. Andre, begitulah  teman-teman memanggil saya dan nama panjang saya Andreas Robby Sanjaya. Umur saya 24 tahun dan saat ini saya sedang menjalani kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Sebelum saya tinggal di Jakarta, saya tinggal di kota medan bersama ayah dan ibu kandung saya. Namun, setelah kepergian ayah kandung saya, saya diajak ibu tinggal di Jakarta bersama ayah tiri saya.
Saya ingin berbagi kisah yang sampai saat ini masih menjadi sebuah harapan dalam hidup saya sebagai seorang anak yang merindukan seorang ayah. Saya mengingat-ingat kisah indah dan manis ketika saya masih bersama ayah kandung saya dulu. Namun, saya pernah benci dan marah kepada ayah yaitu ketika saya masih duduk di bangku SMA saya  meminta motor dan ditolak oleh ayah. Ayah sangat sering menolak permintaan saya. Kalaupun tidak ditolak pasti ditunda-tunda. Itu pun setelah ditanya macam-macam.
Sementara saya juga tak bisa mengharapkan pemberian ibu karena ibu yang saya panggil dengan sebutan “emak”, hanya ibu rumah tangga dan hanya memegang uang belanja saja. Saking kesalnya saya mengeluh dihadapan ayah kalau saya tak ubahnya seperti anak tiri. Akhirnya, ayah mengabulkan keinginan saya dengan syarat saya harus menjadi juara kelas. Meski berat saya berusaha untuk menyanggupi syarat itu, saya belajar keras agar menjadi juara kelas dan mendapatkan motor. Sampai akhirnya saya lulus dan menjadi juara kelas, saya segera pulang  dengan penuh harap kalau motor yang saya ingini telah dibelikan ayah. Namun, sesampai saya dirumah saya sangat kecewa karena saya tidak melihat motor yang saya harapkan itu. Saya langsung mencari ayah. Saya panggil ayah dengan suara yang keras tapi tidak ada jawaban dari ayah. Ketika saya masuk ke kamar ayah, saya hanya mendapati ibu yang sedang bersiap-siap untuk pergi ke suatu acara.
“Mak, ayah mana?”
“Udah… gak usah lagi cari ayahmu, dia udah pergi”, jawab ibu sambil memakai make up.
“Maksud emak ?”, tanya saya bingung.
Ibu melihat saya sebentar dan kembali menatap cermin,“Ayah kamu pergi ninggalin kita buat selamanya”.
Saya semakin bingung.
“Emang ayah pergi kemana mak?”
Ibu memukul meja,”Kamu jangan banyak tanya!!! Pokoknya ayah kamu gak bakal pulang ke rumah ini lagi. NGERTI!!!”
Saya langsung terdiam mendengar jawaban ibu tadi. Saya pergi ke kamar meninggalkan ibu dengan hati penuh tanya. Sesampai di kamar saya langsung duduk termenung dan sayapun tersadar bahwa ayah saya sebenarnya memiliki masalah yang sangat besar sampai menyebabkan ayah pergi dari rumah meninggalkan saya dan ibu. Saya amat sangat merasa bersalah kepada ayah karena sempat membenci beliau. Sejak kepergian ayah, saya yang tadinya seorang yang periang berubah menjadi seorang yang pemurung. Sering menyendiri. Tak mau lagi berkawan dengan teman-teman. Karena saya cuma mengharapkan kepulangan Ayah
Setiap malam saya menangis mengharapkan ayah pulang.
Saya bertanya dalam hati “Apakah ayah telah melupakan saya?”.
Ayah tak pulang-pulang hingga hari ini.
Sebulan setelah kepergian ayah, ibu memperkenalkan seorang pria kepada saya. Ibu mengatakan kalau pria itu hanyalah temannya saja. Namun, kenyatanya sebulan setelah perkenalan itu ibu menikah dengan pria tersebut. Dan kini saya benar-benar telah menjadi anak tiri.
Kemudian setelah ibu menikah dengan pria itu, saya diajak ibu pindah ke Jakarta untuk tinggal serumah dengan ayah tiri saya. Dan kami tinggal bertiga di sana. Saya merasa tidak nyaman tinggal di sana. Dan saya meminta kepada ibu supaya saya tinggal bersama nenek di Jogja. Namun, ibu tidak memperbolehkan saya tinggal  bersama nenek. Kata Ibu nanti sulit mengawasi saya. Lagipula nenek sudah tua. Bener juga kata ibu.
Setelah sekian lama saya tinggal di Jakarta saya sering bermimpi bertemu dengan ayah. Sampai pada suatu siang yang terik ketika saya duduk termenung di kamar, saya seperti mendengar suara bisikan yang sangat lembut. Suara tersebut menyuruh saya untuk mencari Ayah ke Sumatera, ke Kota Medan. Saya langsung mencuri uang Ayah tiri saya dan pergi ke sana sendirian dengan menggunakan bus. Sesampai di kota Medan saya berusaha mencari ayah selama beberapa hari. Tetapi saya kehabisan uang, lalu saya mulai mengemis dari rumah ke rumah. Sampai suatu ketika saya ditangkap polisi. Saya bertanya, “Apa salah saya?” Katanya kamu termasuk daftar pencarian orang hilang, dan akan dikirim kembali ke Jakarta. Saya benar-benar kecewa karena saya tidak berhasil menemukan ayah di sana.
Sejak saat itu saya semakin banyak mendengar suara-suara yang menyuruh saya ini dan itu. Namun kini saya tak bisa apa-apa karena seorang paman dari pihak ayah tiri saya, ditugaskan untuk menjaga ke mana pun saya pergi, termasuk ketika di sekolah. Ruang gerak saya semakin sempit. Saya merasa menjadi seperti tawanan.
Suara-suara lembut itu semakin banyak dan mulai mengajak saya berbincang-bincang ketika saya sedang sendirian. Namun, sejak saat itu pula ibu jadi sering memarahi saya. “Kenapa?”, saya bertanya. Katanya saya sering berbicara dan tertawa sendiri. Saya jawab itu tidak benar. Suara -suara itulah yang mengajak saya mengobrol, mereka adalah kawan-kawan setia saya.
Ibu saya benar-benar seorang yang keji. Ia malah memasukkan saya ke rumah sakit jiwa Grogol. Saya berulang kali berteriak bahwa saya tidak gila. Namun, Ibu saya yang bengis tak peduli, ia tetap menyeret saya ke rumah sakit jiwa. Dari Grogol, saya pernah kabur namun saya tertangkap lalu dimasukkan ke dalam ruangan yang mirip neraka sebab pasien-pasien di dalamnya saling membenci dan kerap berkelahi satu sama lain. Saya pernah kena tinju, mengkibatkan sudut bibir saya berdarah. Karena ibu mengagap pada diri saya tidak ada perubahan untuk sembuh, kemudian ibu memindahkan saya ke rumah sakit jiwa Bogor. Di sana lebih tenang, saya suka. Namun, lagi-lagi ibu saya bertindak sewenang-wenang, ia mengeluarkan saya setelah tiga tahun berada di sana. Katanya di sana saya tak sembuh-sembuh dan akhirnya ibu sadar bahwa saya sebenarnya tidak gila.
Pada Pak Jaka, perawat yang berjaga sore itu, saya pamit pulang. Dengan pikiran yang penuh dan perasaan yang terharu, aku beranjak pergi. Lampu tabung yang remang-remang dan bayangan pada dinding-dinding putih rumah sakit mengiringi langkahku keluar dari bangsal psikiatri itu. Serayah kepak sayap kelelawar tak berbunyi di angkasa. Begitu juga dengan ruang yang baru saja kutinggalkan. Senyap. Tak ada suara.
- See more at: http://www.kupasbuku.com/cerpen/harapan-seorang-anak-tiri#sthash.gDGkJkiY.dpuf
Saya seorang anak tunggal. Andre, begitulah  teman-teman memanggil saya dan nama panjang saya Andreas Robby Sanjaya. Umur saya 24 tahun dan saat ini saya sedang menjalani kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Sebelum saya tinggal di Jakarta, saya tinggal di kota medan bersama ayah dan ibu kandung saya. Namun, setelah kepergian ayah kandung saya, saya diajak ibu tinggal di Jakarta bersama ayah tiri saya.
Saya ingin berbagi kisah yang sampai saat ini masih menjadi sebuah harapan dalam hidup saya sebagai seorang anak yang merindukan seorang ayah. Saya mengingat-ingat kisah indah dan manis ketika saya masih bersama ayah kandung saya dulu. Namun, saya pernah benci dan marah kepada ayah yaitu ketika saya masih duduk di bangku SMA saya  meminta motor dan ditolak oleh ayah. Ayah sangat sering menolak permintaan saya. Kalaupun tidak ditolak pasti ditunda-tunda. Itu pun setelah ditanya macam-macam.
Sementara saya juga tak bisa mengharapkan pemberian ibu karena ibu yang saya panggil dengan sebutan “emak”, hanya ibu rumah tangga dan hanya memegang uang belanja saja. Saking kesalnya saya mengeluh dihadapan ayah kalau saya tak ubahnya seperti anak tiri. Akhirnya, ayah mengabulkan keinginan saya dengan syarat saya harus menjadi juara kelas. Meski berat saya berusaha untuk menyanggupi syarat itu, saya belajar keras agar menjadi juara kelas dan mendapatkan motor. Sampai akhirnya saya lulus dan menjadi juara kelas, saya segera pulang  dengan penuh harap kalau motor yang saya ingini telah dibelikan ayah. Namun, sesampai saya dirumah saya sangat kecewa karena saya tidak melihat motor yang saya harapkan itu. Saya langsung mencari ayah. Saya panggil ayah dengan suara yang keras tapi tidak ada jawaban dari ayah. Ketika saya masuk ke kamar ayah, saya hanya mendapati ibu yang sedang bersiap-siap untuk pergi ke suatu acara.
“Mak, ayah mana?”
“Udah… gak usah lagi cari ayahmu, dia udah pergi”, jawab ibu sambil memakai make up.
“Maksud emak ?”, tanya saya bingung.
Ibu melihat saya sebentar dan kembali menatap cermin,“Ayah kamu pergi ninggalin kita buat selamanya”.
Saya semakin bingung.
“Emang ayah pergi kemana mak?”
Ibu memukul meja,”Kamu jangan banyak tanya!!! Pokoknya ayah kamu gak bakal pulang ke rumah ini lagi. NGERTI!!!”
Saya langsung terdiam mendengar jawaban ibu tadi. Saya pergi ke kamar meninggalkan ibu dengan hati penuh tanya. Sesampai di kamar saya langsung duduk termenung dan sayapun tersadar bahwa ayah saya sebenarnya memiliki masalah yang sangat besar sampai menyebabkan ayah pergi dari rumah meninggalkan saya dan ibu. Saya amat sangat merasa bersalah kepada ayah karena sempat membenci beliau. Sejak kepergian ayah, saya yang tadinya seorang yang periang berubah menjadi seorang yang pemurung. Sering menyendiri. Tak mau lagi berkawan dengan teman-teman. Karena saya cuma mengharapkan kepulangan Ayah
Setiap malam saya menangis mengharapkan ayah pulang.
Saya bertanya dalam hati “Apakah ayah telah melupakan saya?”.
Ayah tak pulang-pulang hingga hari ini.
Sebulan setelah kepergian ayah, ibu memperkenalkan seorang pria kepada saya. Ibu mengatakan kalau pria itu hanyalah temannya saja. Namun, kenyatanya sebulan setelah perkenalan itu ibu menikah dengan pria tersebut. Dan kini saya benar-benar telah menjadi anak tiri.
Kemudian setelah ibu menikah dengan pria itu, saya diajak ibu pindah ke Jakarta untuk tinggal serumah dengan ayah tiri saya. Dan kami tinggal bertiga di sana. Saya merasa tidak nyaman tinggal di sana. Dan saya meminta kepada ibu supaya saya tinggal bersama nenek di Jogja. Namun, ibu tidak memperbolehkan saya tinggal  bersama nenek. Kata Ibu nanti sulit mengawasi saya. Lagipula nenek sudah tua. Bener juga kata ibu.
Setelah sekian lama saya tinggal di Jakarta saya sering bermimpi bertemu dengan ayah. Sampai pada suatu siang yang terik ketika saya duduk termenung di kamar, saya seperti mendengar suara bisikan yang sangat lembut. Suara tersebut menyuruh saya untuk mencari Ayah ke Sumatera, ke Kota Medan. Saya langsung mencuri uang Ayah tiri saya dan pergi ke sana sendirian dengan menggunakan bus. Sesampai di kota Medan saya berusaha mencari ayah selama beberapa hari. Tetapi saya kehabisan uang, lalu saya mulai mengemis dari rumah ke rumah. Sampai suatu ketika saya ditangkap polisi. Saya bertanya, “Apa salah saya?” Katanya kamu termasuk daftar pencarian orang hilang, dan akan dikirim kembali ke Jakarta. Saya benar-benar kecewa karena saya tidak berhasil menemukan ayah di sana.
Sejak saat itu saya semakin banyak mendengar suara-suara yang menyuruh saya ini dan itu. Namun kini saya tak bisa apa-apa karena seorang paman dari pihak ayah tiri saya, ditugaskan untuk menjaga ke mana pun saya pergi, termasuk ketika di sekolah. Ruang gerak saya semakin sempit. Saya merasa menjadi seperti tawanan.
Suara-suara lembut itu semakin banyak dan mulai mengajak saya berbincang-bincang ketika saya sedang sendirian. Namun, sejak saat itu pula ibu jadi sering memarahi saya. “Kenapa?”, saya bertanya. Katanya saya sering berbicara dan tertawa sendiri. Saya jawab itu tidak benar. Suara -suara itulah yang mengajak saya mengobrol, mereka adalah kawan-kawan setia saya.
Ibu saya benar-benar seorang yang keji. Ia malah memasukkan saya ke rumah sakit jiwa Grogol. Saya berulang kali berteriak bahwa saya tidak gila. Namun, Ibu saya yang bengis tak peduli, ia tetap menyeret saya ke rumah sakit jiwa. Dari Grogol, saya pernah kabur namun saya tertangkap lalu dimasukkan ke dalam ruangan yang mirip neraka sebab pasien-pasien di dalamnya saling membenci dan kerap berkelahi satu sama lain. Saya pernah kena tinju, mengkibatkan sudut bibir saya berdarah. Karena ibu mengagap pada diri saya tidak ada perubahan untuk sembuh, kemudian ibu memindahkan saya ke rumah sakit jiwa Bogor. Di sana lebih tenang, saya suka. Namun, lagi-lagi ibu saya bertindak sewenang-wenang, ia mengeluarkan saya setelah tiga tahun berada di sana. Katanya di sana saya tak sembuh-sembuh dan akhirnya ibu sadar bahwa saya sebenarnya tidak gila.
Pada Pak Jaka, perawat yang berjaga sore itu, saya pamit pulang. Dengan pikiran yang penuh dan perasaan yang terharu, aku beranjak pergi. Lampu tabung yang remang-remang dan bayangan pada dinding-dinding putih rumah sakit mengiringi langkahku keluar dari bangsal psikiatri itu. Serayah kepak sayap kelelawar tak berbunyi di angkasa. Begitu juga dengan ruang yang baru saja kutinggalkan. Senyap. Tak ada suara.
- See more at: http://www.kupasbuku.com/cerpen/harapan-seorang-anak-tiri#sthash.gDGkJkiY.dpuf
Saya seorang anak tunggal. Andre, begitulah  teman-teman memanggil saya dan nama panjang saya Andreas Robby Sanjaya. Umur saya 24 tahun dan saat ini saya sedang menjalani kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Sebelum saya tinggal di Jakarta, saya tinggal di kota medan bersama ayah dan ibu kandung saya. Namun, setelah kepergian ayah kandung saya, saya diajak ibu tinggal di Jakarta bersama ayah tiri saya.
Saya ingin berbagi kisah yang sampai saat ini masih menjadi sebuah harapan dalam hidup saya sebagai seorang anak yang merindukan seorang ayah. Saya mengingat-ingat kisah indah dan manis ketika saya masih bersama ayah kandung saya dulu. Namun, saya pernah benci dan marah kepada ayah yaitu ketika saya masih duduk di bangku SMA saya  meminta motor dan ditolak oleh ayah. Ayah sangat sering menolak permintaan saya. Kalaupun tidak ditolak pasti ditunda-tunda. Itu pun setelah ditanya macam-macam.
Sementara saya juga tak bisa mengharapkan pemberian ibu karena ibu yang saya panggil dengan sebutan “emak”, hanya ibu rumah tangga dan hanya memegang uang belanja saja. Saking kesalnya saya mengeluh dihadapan ayah kalau saya tak ubahnya seperti anak tiri. Akhirnya, ayah mengabulkan keinginan saya dengan syarat saya harus menjadi juara kelas. Meski berat saya berusaha untuk menyanggupi syarat itu, saya belajar keras agar menjadi juara kelas dan mendapatkan motor. Sampai akhirnya saya lulus dan menjadi juara kelas, saya segera pulang  dengan penuh harap kalau motor yang saya ingini telah dibelikan ayah. Namun, sesampai saya dirumah saya sangat kecewa karena saya tidak melihat motor yang saya harapkan itu. Saya langsung mencari ayah. Saya panggil ayah dengan suara yang keras tapi tidak ada jawaban dari ayah. Ketika saya masuk ke kamar ayah, saya hanya mendapati ibu yang sedang bersiap-siap untuk pergi ke suatu acara.
“Mak, ayah mana?”
“Udah… gak usah lagi cari ayahmu, dia udah pergi”, jawab ibu sambil memakai make up.
“Maksud emak ?”, tanya saya bingung.
Ibu melihat saya sebentar dan kembali menatap cermin,“Ayah kamu pergi ninggalin kita buat selamanya”.
Saya semakin bingung.
“Emang ayah pergi kemana mak?”
Ibu memukul meja,”Kamu jangan banyak tanya!!! Pokoknya ayah kamu gak bakal pulang ke rumah ini lagi. NGERTI!!!”
Saya langsung terdiam mendengar jawaban ibu tadi. Saya pergi ke kamar meninggalkan ibu dengan hati penuh tanya. Sesampai di kamar saya langsung duduk termenung dan sayapun tersadar bahwa ayah saya sebenarnya memiliki masalah yang sangat besar sampai menyebabkan ayah pergi dari rumah meninggalkan saya dan ibu. Saya amat sangat merasa bersalah kepada ayah karena sempat membenci beliau. Sejak kepergian ayah, saya yang tadinya seorang yang periang berubah menjadi seorang yang pemurung. Sering menyendiri. Tak mau lagi berkawan dengan teman-teman. Karena saya cuma mengharapkan kepulangan Ayah
Setiap malam saya menangis mengharapkan ayah pulang.
Saya bertanya dalam hati “Apakah ayah telah melupakan saya?”.
Ayah tak pulang-pulang hingga hari ini.
Sebulan setelah kepergian ayah, ibu memperkenalkan seorang pria kepada saya. Ibu mengatakan kalau pria itu hanyalah temannya saja. Namun, kenyatanya sebulan setelah perkenalan itu ibu menikah dengan pria tersebut. Dan kini saya benar-benar telah menjadi anak tiri.
Kemudian setelah ibu menikah dengan pria itu, saya diajak ibu pindah ke Jakarta untuk tinggal serumah dengan ayah tiri saya. Dan kami tinggal bertiga di sana. Saya merasa tidak nyaman tinggal di sana. Dan saya meminta kepada ibu supaya saya tinggal bersama nenek di Jogja. Namun, ibu tidak memperbolehkan saya tinggal  bersama nenek. Kata Ibu nanti sulit mengawasi saya. Lagipula nenek sudah tua. Bener juga kata ibu.
Setelah sekian lama saya tinggal di Jakarta saya sering bermimpi bertemu dengan ayah. Sampai pada suatu siang yang terik ketika saya duduk termenung di kamar, saya seperti mendengar suara bisikan yang sangat lembut. Suara tersebut menyuruh saya untuk mencari Ayah ke Sumatera, ke Kota Medan. Saya langsung mencuri uang Ayah tiri saya dan pergi ke sana sendirian dengan menggunakan bus. Sesampai di kota Medan saya berusaha mencari ayah selama beberapa hari. Tetapi saya kehabisan uang, lalu saya mulai mengemis dari rumah ke rumah. Sampai suatu ketika saya ditangkap polisi. Saya bertanya, “Apa salah saya?” Katanya kamu termasuk daftar pencarian orang hilang, dan akan dikirim kembali ke Jakarta. Saya benar-benar kecewa karena saya tidak berhasil menemukan ayah di sana.
Sejak saat itu saya semakin banyak mendengar suara-suara yang menyuruh saya ini dan itu. Namun kini saya tak bisa apa-apa karena seorang paman dari pihak ayah tiri saya, ditugaskan untuk menjaga ke mana pun saya pergi, termasuk ketika di sekolah. Ruang gerak saya semakin sempit. Saya merasa menjadi seperti tawanan.
Suara-suara lembut itu semakin banyak dan mulai mengajak saya berbincang-bincang ketika saya sedang sendirian. Namun, sejak saat itu pula ibu jadi sering memarahi saya. “Kenapa?”, saya bertanya. Katanya saya sering berbicara dan tertawa sendiri. Saya jawab itu tidak benar. Suara -suara itulah yang mengajak saya mengobrol, mereka adalah kawan-kawan setia saya.
Ibu saya benar-benar seorang yang keji. Ia malah memasukkan saya ke rumah sakit jiwa Grogol. Saya berulang kali berteriak bahwa saya tidak gila. Namun, Ibu saya yang bengis tak peduli, ia tetap menyeret saya ke rumah sakit jiwa. Dari Grogol, saya pernah kabur namun saya tertangkap lalu dimasukkan ke dalam ruangan yang mirip neraka sebab pasien-pasien di dalamnya saling membenci dan kerap berkelahi satu sama lain. Saya pernah kena tinju, mengkibatkan sudut bibir saya berdarah. Karena ibu mengagap pada diri saya tidak ada perubahan untuk sembuh, kemudian ibu memindahkan saya ke rumah sakit jiwa Bogor. Di sana lebih tenang, saya suka. Namun, lagi-lagi ibu saya bertindak sewenang-wenang, ia mengeluarkan saya setelah tiga tahun berada di sana. Katanya di sana saya tak sembuh-sembuh dan akhirnya ibu sadar bahwa saya sebenarnya tidak gila.
Pada Pak Jaka, perawat yang berjaga sore itu, saya pamit pulang. Dengan pikiran yang penuh dan perasaan yang terharu, aku beranjak pergi. Lampu tabung yang remang-remang dan bayangan pada dinding-dinding putih rumah sakit mengiringi langkahku keluar dari bangsal psikiatri itu. Serayah kepak sayap kelelawar tak berbunyi di angkasa. Begitu juga dengan ruang yang baru saja kutinggalkan. Senyap. Tak ada suara.
- See more at: http://www.kupasbuku.com/cerpen/harapan-seorang-anak-tiri#sthash.gDGkJkiY.dpuf