Kearifan Lokal dalam Arsitektur Perkotaan dan Lingkungan Binaan
Antariksa
Abstrak
Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral maupun profan. Kearifan lokal telah menjadi tradisi-fisik-budaya, dan secara turun-temurun menjadi dasar dalam membentuk bangunan dan lingkungannya, yang diwujudkan dalam sebuah warisan budaya arsitektur perkotaan. Arsitektur perkotaan dan lingkungan binaan, yang digali dan sumber-sumber lokal, jika ditampilkan dalam 'wajah atau wacana ke-indonesiaan' niscaya memiliki sumbangan yang sangat besar bagi terciptanya identitas baru keseluruhan bagi bangsa secara keseluruhan. Di dalam permukiman tradisional, dapat ditemukan pola atau tatanan yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kesakralannya atau nilai-nilai adat dari suatu tempat tertentu. Hal tersebut memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan suatu lingkungan hunian atau perumahan tradisional. Nilai-nilai adat yang terkandung dalam permukiman tradisional menunjukkan nilai estetika serta local wisdom dari masyarakat tersebut. Keanekaragaman sosial budaya masyarakat pada suatu daerah tidak terbentuk dalam jangka waktu yang singkat. Demikian pula, penggunaan teor-teori untuk menggali kearifan lokal, dapat mengungkapkan nila-nilai arsitektur bangunan maupun kawasan dari suatu tempat. Dengan demikian local wisdom (kearifan lokal/setempat): dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat.
Kata kunci: kearifan lokal, arsitektur perkotaan, persepsi budaya
1. PENDAHULUAN
Penegasan dalam arsitektur perkotaan sudah sangat jelas, bahwa konteks budaya yang terdapat di dalamnya, menjadi bagian utama untuk digali dan dicari. Apa yang melatarbelakanginya dan bagaimana cara mengungkapkannya, agar nilai budaya itu dapat memberikan arti dan membuka wawasan bagi perencanaan dan perancangan perkotaan di masa mendatang. Perjalanan budaya suatu kawasan yang di dalamnya terdapat manusia dan bangunan, telah memberikan ciri khas pada kehidupan masyarakat dalam sejarah peradaban bangsa. Peradaban sendiri, diistilahterjemahkan dari civilization, dengan kata latin civis (warga kota) dan civitas (kota; kedudukan warga kota). Hal itu diistilahkan oleh Franz Boas menjadi lahirnya kultur sebagai akibat dari pergaulan manusia dengan lingkungan alamnya. Meliputi budaya materiil, relasi sosial, seni, agama, dan sistem moral serta gagasan dan bahasa. Definisi budaya juga memberikan tekanan pada dua hal: pertama, unsur-unsurnya baik yang berupa adat kebiasaan atau gaya hidup hidup masyarakat yang bersangkutan; dan kedua, fungsi-fungsi yang spesifik dari unsur-unsur tadi demi kelestarian masyarakat dan solidaritas antar individu (Antariksa, 2009b). Kearifan lokal telah menjadi tradisi-fisik-budaya, dan secara turun-temurun menjadi dasar dalam membentuk bangunan dan lingkungannya, yang diwujudkan dalam sebuah warisan budaya perkotaan. Benar adanya bahwa, pengakuan tentang warisan budaya (cultural heritage) yang di dalamnya terdapat konservasi, adalah merupakan bagian dari tanggungjawab seluruh tingkatan pemerintahan, dan anggota masyarakat, sedangkan heritage itu sendiri, adalah bukan sekedar mendata masa lampau, tetapi merupakan bagian integral dari identitas perkotaan saat ini dan masa mendatang. Menampilkan kembali atau mempertahankan ruang kota masa lalu, berarti memperhatikan elemen-elemen jalan (street-furniture) dan pembentuk ruangnya, baik tata hijau (soft-landscape) maupun perkerasannya (hard-landscape). Ahli perkotaan Witold Rybezynski mengatakan “budaya telah menjadi industri besar di beberapa kota tua”. Kota-kota tetap pada lokasi dari budaya yang paling utama –museum, teater, auditorium, dan universitas, juga pabrik-pabrik dan beberapa kantor– ada pada suburbans. Mereka menjadi tujuan wisata karena daya tarik budayanya. Bagian yang paling menonjol dari budaya kota-kota di Eropa adalah lingkungan binaan bersejarah.
2. HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1 Mencari Makna Kaerifan Lokal
Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum makna local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat. Menurut Gobyah dalam Sartini (2004:112) mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan maupun produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Pada bagian lain, Geriya dalam Sartini (2004:112), mengatakan bahwa secara konsepsual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga.
Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami penguatan (reinforcement). Apabila suatu tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan. Kearifan adat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh ketentuan agama. (Sartini, 2004:112)
Kearifan-kearifan lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan dalam pembentukan jatidiri bangsa secara nasional. Kearifan-kearifan lokal itulah yang membuat suatu budaya bangsa memiliki akar (Sayuti, 2005). Motivasi menggali kearifan lokal sebagai isu sentral secara umum adalah untuk mencari dan akhirnya, jika dikehendaki, menetapkan identitas bangsa, yang mungkin hilang karena proses persilangan dialektis seperti dikemukakan di atas, atau karena akulturasi dan transformasi yang telah, sedang, dan akan terus terjadi sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Bagi kita, upaya menemukan identitas bangsa yang baru atas dasar kearifan lokal merupakan hal yang penting demi penyatuan budaya bangsa di atas dasar identitas daerah-daerah Nusantara (Sayuti, 2005). Dalam kaitan ini, kearifan lokal yang terkandung dalam sistem seluruh budaya daerah atau etnis yang sudah lama hidup dan berkembang adalah menjadi unsur budaya bangsa yang harus dipelihara dan diupayakan untuk diintegrasikan menjadi budaya baru bangsa sendiri secara keseluruhan. Pengembangan kearifan-kearifan lokal yang relevan dan kontekstual memiliki arti penting bagi berkembangnya suatu bangsa, terutama jika dilihat dari sudut ketahanan budaya, di samping juga mempunyai arti penting bagi identitas daerah itu sendiri. Kearifan lokal yang juga meniscayakan adanya muatan budaya masa lalu, dengan demikian, juga berfungsi untuk membangun kerinduan pada kehidupan nenek moyang, yang menjadi tonggak kehidupan masa sekarang.
Karya-karya arsitektur perkotaan, yang digali dan sumber-sumber lokal, jika ditampilkan dalam 'wajah atau wacana ke-indonesiaan' niscaya memiliki sumbangan yang sangat besar bagi terciptanya identitas baru keseluruhan bagi bangsa secara keseluruhan. Menurut Juwono (2005:76, identitas keruangan adalah salah satu kekayaan sosial budaya untuk meneguhkan keberadaan masyarakat dalam proses perubahan sosial budaya lingkungannya. Dalam perancangan kota, penguatan akan potensi lokal menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi dampak permasalahan peningkatan konflik serta adanya kesenjangan menjadi persoalan yang urgen. Perhatian terhadap potensi lokal arsitektur kawasan sebagai “daya tarik serta keunggulan” kota menjadi penyeimbang sinergi globalisasi lokal (Eade, 1977). Kekuatan dari kearifan lokal tersebut berupa nilai masa lalu atau saat ini maupun perpaduan dari keduanya yang memiliki signifikasi dan keunikan. Kenyataan kota-kota dalam masa sekarang ini cenderung kehilangan kekuatan tradisi kelokalannya yang semakin larut masuk dalam dinamika global. Konservasi kawasan merupakan sebuah tantangan dalam perancangan kota, hal ini dimungkinkan karena proses perkembangan dan pertumbuhan kota untuk memperhatikan nilai histories dan dinamika dari kawasan tersebut.
2.2 Kearifan Lokal dalam Tatanan Tradisionalistik
Di dalam permukiman tradisional, dapat ditemukan pola atau tatanan yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kesakralannya atau nilai-nilai adat dari suatu tempat tertentu. Hal tersebut memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan suatu lingkungan hunian atau perumahan tradisional. Nilai-nilai adat yang terkandung dalam permukiman tradisional menunjukkan nilai estetika serta local wisdom dari masyarakat tersebut. Terdapat suatu elemen utama dari hal yang sakral tersebut pada permukiman tradisional. Jika permukiman dianggap sebagai suatu lingkungan yang diperadabkan, maka bagi kebanyakan masyarakat tradisional di lingkungan tersebut, menurut ketentuan, merupakan lingkungan yang sakral atau disucikan. Alasan pertama adalah karena orang-orang banyak berpandangan bahwa masyarakat-masyarakat tradisional selalu terkait dengan hal-hal yang bersifat religius. Agama dan kepercayaan merupakan suatu hal yang sentral dalam sebuah permukiman tradisional. Hal tersebut tidak dapat terhindarkan, karena orang-orang akan terus berusaha menggali lebih dalam untuk mengetahui makna suatu lingkungan yang sakral atau disucikan, karena hal itu menggambarkan suatu makna yang paling penting. Kedua, sebuah pandangan yang lebih pragmatik, adalah bahwa hal yang sakral tersebut serta ritual keagamaan yang menyertainya dapat menjadi efektif untuk membuat orang-orang melakukan sesuatu di dalam sesuatu yang disahkan atau dilegalkan (Rapoport, 1969).
Pola tata ruang permukiman tradisional Aceh merupakan khasanah warisan budaya yang cukup menonjol, diciptakan dan didukung oleh masyarakat yang bercirikan Islam dan kultur budaya setempat, sehingga pola tata ruang yang terbentuk mempunyai nilai-nilai religi dan budaya yang sangat tinggi. Secara tradisional, pola pemukiman di Aceh terdiri dari rumah-rumah yang dikelompokkan berdasarkan kekerabatan yang diselingi dengan wilayah terbuka yang berfungsi sebagai wilayah publik dan wilayah penyangga hijau. Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, jejak-jejak kearifan para arsitek jaman dahulu masih dapat ditemukan. Seperti rumah-rumah tradisional lain di Asia Tenggara, rumoh (rumah) Aceh berupa rumah panggung, yang dirancang sesuai dengan kondisi iklim, arah angin dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Tidak sekadar sebagai hunian, rumoh Aceh juga menyiratkan budaya dan tata cara hidup orang Aceh yang kaya makna. Rumoh Aceh hingga kini masih bisa ditemui di desa-desa di kawasan pantai timur, mulai dari Aceh Timur hingga Aceh Besar. Namun, jumlahnya terus berkurang. Salah satu permukiman tradisional yang masih bertahan adalah Gampong Lubuk Sukon, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar. Gampong ini terletak di dataran rendah, dekat dengan pegunungan, yang sebagian besar rumah penduduknya adalah rumah panggung tradisional Aceh yang terbuat dari kayu. Rumah-rumah di Gampong Lubuk Sukon, secara bijak dirancang dengan prinsip tahan gempa. Observasi Hurgronje (1985) membuktikan bahwa hunian masyarakat (permukiman) Aceh telah disesuaikan terhadap ancaman bencana gempa dan banjir. Orang Aceh, khususnya yang bermukim di wilayah Banda Aceh (dahulu disebut dengan Kutaradja) dan Aceh Besar, sejak tahun 1600 telah sadar bahwa letak kota mereka secara geografis tidak terlalu baik (Lombard, 2006). Pola yang terbentuk dari keseluruhan sistem permukiman masyarakat Gampong Lubuk Sukon memiliki makna dan tujuan tertentu berdasarkan konsep-konsep lokal yang telah terbukti dapat lebih diterima oleh masyarakat penggunanya. Kebijakan mengenai aspek adat dan kehidupan Gampong yang tertuang dalam bab VII Qanun nomor 4 tahun 2003 yang menyatakan bahwa Gampong berhak untuk merancang dan menetapkan reusam Gampong (tata krama peradatan di Aceh) untuk mengatur kehidupan warganya, menjadi dasar untuk menghidupkan kembali adat yang semakin menghilang akibat pergeseran nilai-nilai masyarakat. Oleh karena itu, penjelasan mengenai konsep bermukim sangat penting dalam kaitannya dengan proses pembentukan lingkungan permukiman. Melalui latar belakang dan pengalaman sejarah, dan pemahaman mengenai pola tata ruang permukiman yang sesuai dengan nilai-nilai tradisional masyarakat Aceh, diharapkan dapat mengakomodasi, menghormati dan memelihara keberadaan Gampong, sekaligus sebagai wujud pelestarian tata ruang tradisional sebagai identitas budaya bangsa. (Burhan, 2008)
Pengaruh kepercayaan pada permukiman Dusun Sade Lombok, antara lain terlihat pada pemilihan lokasi permukiman dan orientasi bangunannya. Lokasi permukiman dipilih pada daerah yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya, yaitu pada daerah perbukitan dengan pertimbangan sebagai berikut (Mahayani, 1995:35): (1) Kepercayaan terhadap kosmos tentang adanya kekuatan alam gaib yang barada di alam atas dan dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai sumber rahmat keselamatan sekaligus kutukan dan kesengsaraan; (2) Faktor keamanan, puncak bukit merupakan tempat yang strategis untuk mengatur pertahanan mengingat adanya konflik antara Dusun Sade dengan dusun-dusun lainnya; (3) Faktor kesuburan tanah, perbukitan merupakan daerah yang kurang subur karena banyak mengandung kapur, sedangkan daerah sekitarnya yang berupa dataran rendah merupakan daerah yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian untuk mata pencaharian masyarakat setempat. Rumah-rumah di Dusun Sade terbuat dari bahan-bahan yang berasal dari alam, seperti kayu, bambu dan alang-alang, dengan letak rumah yang berderet dan berdekatan, sehingga membentuk pola linear dengan orientasi ke arah timur dan barat. Arah orientasi rumah-rumah tersebut tidak tepat menghadap ke timur dan barat melainkan agak miring sesuai dengan topografi kawasan. Orientasi ini didasarkan kepada arah matahari yang dipercaya akan memberikan berkah. Arah timur diartikan sebagai penewu jelu, yaitu tempat matahari terbit dan arah barat diartikan sebagai penyerap jelu, yaitu tempat matahari terbenam. Selain itu juga adanya pantangan untuk menghadap ke utara karena mengarah ke Gunung Rinjani yang dianggap sebagai tempat suci karena merupakan tempat bersemayamnya Dewa Gunung Rinjani, yaitu dewa tertinggi yang menguasai seluruh Pulau Lombok (Krisna, 2005). Rumah-rumah tersebut memiliki ukuran yang sama dengan menggunakan bahan-bahan dari alam sekitar serta memiliki bentuk yang sederhana. Keseragaman pada bentuk maupun bahan bangunan yang digunakan, diartikan sebagai kesamaan asal usul yaitu dari segumpal tanah. Oleh karena itu, sebagai manusia yang sama asal dan derajatnya maka rumah tinggal sebagai tempat hunian mereka di dunia juga harus sama.
Ciri dari permukiman tradisional sebagai wujud budaya khas adat dapat ditemukan pada pola perumahan taneyan lanjhang yang merupakan ciri khas arsitektural Madura yang memiliki tatanan berbeda dengan nilai adat tradisi Madura yang kental mengusung nilai dan sistem kekerabatan yang erat dan masih dapat ditemukan kesakralannya pada beberapa wilayah di Pulau Madura. Karakteristik orisinil masyarakat Madura cenderung memiliki corak perumahan tidak mengarah pada bentuk desa berkerumun tetapi lebih kepada corak berpencar. Membuat koloni-koloni dalam rupa kampung-kampung kecil. Ada juga satu pekarangan yang terdiri dari empat atau lima keluarga. Ekspresi ruang pada susunan rumah tradisional Madura, atau yang lazim disebut taneyan lanjhang adalah salah satu contoh hasil olah budaya yang lebih didasarkan kepada makna yang mendasari pola pemikiran masyarakatnya. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh keberadaan dan cara hidup masyarakatnya. Makna ruang tidak hanya didasari oleh pengertian estetis dan visual semata. Pemaknaan lebih didasarkan kepada esensi terdalam dari apa yang ada dalam alam pemikiran masyarakatnya karena itulah ekspresi visual adalah cerminan nilai dasar dari jati diri masyarakatnya (Tulistyantoro, 2005). Pola perumahan taneyan lanjhang, merupakan pola yang terbentuk karena adanya tradisi bermukim masyarakat Desa lombang dipengaruhi oleh garis matrilineal dengan membentuk satu pola permukiman yang disebut sebagai pola permukiman taneyan lanjhang (halaman panjang). Menurut Zawawi Imron (survey primer 2008), permukiman taneyan lanjhang merupakan konsep bermukim yang mengacu pada kekerabatan yang mengandung ajaran untuk memberikan eksistensi pada perempuan. Sedangkan menurut Edy, budayawan Madura (survey primer 2008) dikatakan bahwa konsep taneyan lanjhang yang merupakan budaya bermukim masyarakat Madura pada umumnya timbul karena kondisi geografis yang kurang menguntungkan (kering/tandus) menyebabkan diperlukan banyak tenaga untuk mengelola lahan tersebut sehingga perempuan dianggap sebagai aset bagi keluarga dalam menambah jumlah tenaga (membawa suami untuk masuk ke dalam lingkungan keluarga perempuan karena berlakunya tradisi matrilokal). Taneyan sendiri difungsikan sebagai pengikat antar bangunan yang menunjukkan kekerabatan yang erat (matrilokalitas) serta sebagai orientasi dan arah hadap bangunan. (Dewi, 2008)
Kegiatan adat dan budaya yang berkembang di Desa Trowulan merupakan perpaduan antara nilai tradisi Jawa dan Majapahit, tradisi tersebut masih dipakai di tengah kehidupan masyarakatnya. Tradisi yang paling dominan dan menonjol adalah hanya bersifat periodik atau waktu tertentu, yaitu cok bakal, tingkep, among-among, tandur, keleman, wiwit dan bersih desa. Tradisi dan budaya tersebut mempengaruhi bentuk pola permukiman (pola hunian) baik internal maupun eksternal. Aspek pola hunian menguraikan mengenai tipologi desa dan pola permukiman desa. Pola permukiman yang ada di Desa Trowulan terdiri atas, mengumpul dengan orientasi rumah adalah halaman yang digunakan secara bersama (komunal), linier dengan orientasi rumah adalah jalan, serta linier memusat dengan orientasi rumah adalah jalan dan cenderung terpisah dengan dusun yang lain. Pola permukiman ini kemudian di bagi lagi menjadi unit yang lebih kecil lagi, yaitu pola hunian. Karakteristik non fisik masyarakat pada pola hunian dengan orientasi halaman bersama cenderung melakukan aktivitas sosial dan sistem nilai yang sama, hal ini didukung dengan hubungan kekerabatan yang ada masih sangat erat, karena mereka adalah satu keturunan yang sama. Secara umum bentuk arsitektur tradisional di daerah Kabupaten Mojokerto, sebuah kawasan peninggalan kerajaan Majapahit dapat dilihat bahwa perkembangan arsitektur Mojokerto dipengaruhi oleh dua budaya etnis, yaitu budaya Jawa dan budaya Madura. Kedua budaya inilah yang nampaknya sangat dominan pengaruhnya, walaupun sebenarnya masih terdapat etnis lain, seperti suku Osing dari Banyuwangi dan para pendatang yang sebagian besar berasal daerah pesisir. Dengan demikian maka pola permukiman yang ada di Kabupaten Mojokerto sedikit banyak mempunyai persamaan dengan pola permukiman yang berkembang di daerah Madura. (Permatasari, 2008)
2.3. Peninggalan Kolonial dan Kearifan Lokal
Bangunan peninggalan Kolonial Belanda yang masih ada di Kawasan Oranjebuurt terdiri dari bangunan yang dibangun pada perioede awal tahun 1900 sampai dengan sebelum tahun 1930 (sekitar tahun 1914-1918) dan bangunan yang dibangun sekitar tahun 1930-an. Bangunan yang dibangun sekitar tahun 1914-1918 memiliki desain bangunan yang secara keseluruhan terkesan lebih dekoratif dan detail dari bangunan berlanggam tahun 1930-an. Secara umum, fasade bangunan pada masing-masing sisi ruas jalan di Kawasan Oranjebuurt Kota Malang kurang memiliki legibilitas (kemudahan untuk dipahami atau dibayangkan dan dapat diorganisir sebagai suatu pola yang koheren). Unsur irama sebagai pengikat pola maupun urutan klimaks dan anti klimaks sulit ditemukan karena perubahan fisik bangunan baru tidak memperhatikan harmonisasi dengan bangunan yang telah ada sebelumnya. Walaupun hanya tersisa beberapa bangunan, masih terdapat beberapa bangunan peninggalan Kolonial Belanda yang memperlihatkan suatu harmonisasi antar fasade bangunannya, pengakitan yang digunakan di antarnya adalah proksimity, reproduksi dan penutup berkesinambungan. Skala ketinggian bangunan di Kawasan Oranjebuurt tidak membentuk suatu kesan ruang, karena memiliki garis sempadan bangunan yang cukup besar, sehingga jarak antar muka bangunannya rata-rata empat kali lebih besar dari ketinggian bangunan. (Novayanto, 2008) Keteraturan ruang pada Kawasan Oranjebuurt secara makro terbentuk oleh kaitan visual ruang terbuka (open space/void) yang lebih dominan, sedangkan massa bangunan (solid) lebih kepada sebagai infill saja. Void yang membentuk kaitan visual di Kawasan Oranjebuurt terdiri dari struktur jaringan jalan yang memperkuat orientasi kawasan. Solid atau massa yang terdapat di Kawasan Oranjebuurt memiliki peran dalam elemen perkotaan sebagai blok medan, yaitu sebagai massa yang memiliki berbagai macam bentuk dan orientasi, namun masing-masing tidak dilihat sebagai individu, melainkan dilihat sebagai keseluruhan massa secara bersama. (Novayanto, 2008)
2.4 Persepsi Budaya dalam Arsitektur Perkotaan
Persepsi budaya dalam perkotaan pertama digunakan dalam antropologi. Hal ini ditegaskan oleh Clifford Geertz dalam The Interpretation of Culture (1973), seikat dari aktifitas dan nilai yang membentuk karakter dari masyarakat, dalam kasus ini adalah masyarakat perkotaan. Kedua, digunakan secara terbatas di tempat budaya disamakan dengan seni dan kebiasaan, dan terutama dengan bidang melukis dan musik. Dalam pandangan Lewis Mumford melalui The Culture of Cities (1938)nya mengatakan bahwa, kota mempunyai creative focal points bagi masyarakat, dan kota ..….. adalah titik maksimum konsentrasi untuk power and culture dari komuniti. Kota dibentuk oleh budaya, tetapi sebaliknya kota dipengaruhi wujud dari budaya itu. Kota dibentuk bersama-sama dengan langgam, menurut Mumford sangat manusiawi, dan merupakan “greatest work of art”. Di dalam kota, waktu menjadi visibel, dengan lapisan-lapisan dari masa lalu yang masih bertahan pada buildings, monuments, dan public ways. Peran budaya terhadap kota dalam The City (1905), Max Weber mengatakan bahwa konsep kota menekankan kesopanan (urbanity) – wujud kosmopolitan dari urban experience. Melalui wujudnya, sebuah kota dimungkinkan menjadi puncak dari individual dan inovasi, dan hal ini menjadi instrumen dari perubahan sejarah. Dalam perkembangan penulisan sejarah di Amerika, Eric Lampard mencoba mendefinisikan sejarah kota dengan sejarah dari “urbanisasi sebagai proses kemasyarakatan”, bukan sejarah dari “kota”. Hasil dari sejarah kota yang demikian itu kemudian diberi nama the new urban history. Maksud dari pembatasan ini ialah untuk mengembalikan bidang sejarah kota kepada gejala kekotaan yang khas, yang menekankan kekotaan sebagai pusat perhatian sejarah. (Kuntowijoyo 2003:64) Di sini urbanisme menjebak masyarakat dalam kebebasan untuk menentukan tempat kehidupan berarsitektur dalam lingkungan binaannya. Pengaruh dari perkembangan arsitektur telah membebani kehidupan berarsitektur masyarakat perkotaan dan perdesaan. Aspek tatanan budaya dan fisik mereka dijadikan objek sebuah tatanan baru yang berbeda dengan geografis-kultural setempat, sehingga menenggelamkan kerifan lokal yang mereka punyai.
Keanekaragaman sosial budaya masyarakat pada suatu daerah tidak terbentuk dalam jangka waktu yang singkat. Namun terbentuk melalui sejarah yang panjang, perjalanan berliku, tapak demi tapak yang terjadi secara turun temurun dari berbagai generasi. Pada titik tertentu terdapat peninggalan-peninggalan yang eksis atau terekam sampai sekarang yang kemudian menjadi warisan budaya. Dengan demikian, proses perjalanan sejarahnya pun tidak dapat dipolitisasi bahkan direkayasa. Hal ini menjadi penting agar tidak menghentikan tradisi budaya mereka yang sudah berjalan secara turun-temurun sebagai warisan.
2.5 Teori Sebagai Alat Pengungkap Kearifan Lokal
Di kota-kota yang memiliki kekuatan fisik struktural dapat dilakukan dengan pendekatan fisik (Trancik, 1986), di samping pendekatan yang memperlihatkan aliran hubungan dan interaksi serta nilai-nilai kontekstual ruang. Setiap kota memiliki banyak fragmen tinggalan masa lalu, yaitu kawasan-kawasan bersejarah kota yang berfungsi sebagai bagian yang terdapat di dalam kota. Salah satu pendekatan yang digunakan untuk menggali kearifan lokal, adalah elemen penghubung, yaitu elemen-elemen dari linkage satu kawasan ke kawasan lain untuk membantu orang agar mengerti fragmen-fragmen kota sebagai bagian dari suatu keseluruhan yang lebih besar (Zahnd, 1999:108). Pendekatan lain adalah figure ground sering dipergunakan untuk mendeskripsikan pola masif dan void tata ruang perkotaan kawasan. Berdasarkan teori figure/ground, suatu tata kota dapat dipahami sebagai hubungan tekstual antara bentuk yang dibangun (building mass) dan ruang terbuka (open space). Figure/ground adalah alat yang sangat baik untuk mengidentifikasikan sebuah tekstur dan pola-pola sebuah tata ruang perkotaan (urban fabric), serta mengidentifikasikan masalah keteraturan massa/ruang perkotaan (Zahnd, 1999:79).
Kemudian teori place dipergunakan untuk memahami seberapa besar kepentingan tempat-tempat perkotaan yang terbuka terhadap sejarah, budaya dan sosialisasinya. Analisis place adalah alat yang baik untuk (i) memberi pengertian mengenai ruang kota melalui tanda kehidupan perkotaannya; dan (ii) memberi pengertian mengenai ruang kota secara kontekstual (Zahnd, 1999:70). Secara fisik, sebuah ruang (space) akan ada kalau dibatasi sebagai sebuah void dan sebuah space menjadi sebuah place kalau mempunyai arti dari lingkungan yang berasal dari budaya setempatnya (Trancik, 1986). Pendekatan citra kota memberikan arah pendangan kota ke arah yang memperhatikan pikiran terhadap kota dari orang yang hidup di dalamnya. Makna sebuah tempat dapat diungkapkan berdasarkan elemen-elemen pembentuk citra. Tiga dari lima elemen yang dapat mengungkapkan makna dari ciri perkotaan, yaitu district (kawasan), node (simpul), edge (batas) serta landmark (tengeran) (Lynch, 1960), kelima elemen ini tidak dapat dipandang secara terpisah antara satu dengan lainnya. Karena kelimanya akan berfungsi dan berarti secara bersamaan dalam satu interaksi. Melalui konsep mental map ruang kota menurut Lynch (1960) konservasi kawasan dapat dikembangkan kota sebagai “konstruksi collective memory”. Namun tidak demikian halnya dengan kota-kota yang tidak memiliki “struktur fisik” seperti kota-kota yang terdapat di Indonesia, dengan eksistensi kota-kota semacam ini lebih bertumpu pada kekuatan sosial budayanya.
Pendekatan sinkronik dan diakronik yang diungkapkan oleh Suprijanto (2001:108), umumnya digunakan dalam kaitannya dengan morfologi (dalam arsitektur dan kota) sebagai metode analisis. Pada morfologi atau perkembangannya, aspek diakronik digunakan untuk mengkaji satu aspek yang menjadi bagian dari satu objek, fenomena atau ide dari waktu ke waktu. Sedangkan aspek sinkronik digunakan untuk mengkaji keterkaitan antar aspek dalam kurun waktu tertentu.
Akan tetapi, pendekatan-pendekatan di atas masih belum menyentuh masalah budaya arsitektur perkotaan, yang dapat digunakan untuk melihat struktur kota yang berkaitan dengan bangunan dan kawasannya. Massa dan ruang yang akan dimaknai, belum cukup untuk dapat mengungkapkan tradisi dan budaya dibalik lingkungan binaan yang melingkupinya. Dengan kondisi budaya yang berbeda, tentunya akan memberikan hasil yang berbeda pula dengan kondisi geografis bangunan dan kawasan lainnya. Karena struktur fisik kota di masing-masing tempat berbeda dengan struktur budaya di tempat lain yang didasarkan pada struktur geografis kulturalnya. Setiap kawasan juga memiliki keunikan tersendiri terbentuk karena adanya kekhasan budaya masyarakat, kondisi iklim yang berbeda, karakteristik tapak, pengaruh nilai-nilai spiritual yang dianut, dan kondisi politik atau keamanan dari suatu kota atau daerah. Pada dasarnya potensi yang dimiliki tersebut harus mampu dimanfaatkan ataupun dikembangkan sebagai daya tarik kawasan tersebut.
Pendekatan yang lebih berorientasi pada pandangan etik harus melihat pandangan emik bagaimana kepentingan warga secara luas dan masyarakat kota secara umum. Dari disiplin perancangan kota, kasus ini menunjukkan “konstruksi sosial budaya kota” bukan konstruksi fisik seperti dapat dijumpai pada kota-kota lain di Indonesia (Juwono, 2005:82). Menghadapi kenyataan tersebut tindakan yang harus dilakukan adalah mengkaji ulang konsep dasar perancangan kawasan serta melihat kembali apakah kearifan lokal yang ada masih dapat dipertahankan. Dengan demikian fungsi ruang adalah sebagai tempat transformasi nilai sosial budaya
Demikian pula dengan makna kultural, dapat digunakan sebagai sebuah konsep yang mengusulkan kriteria untuk mengestimasi nilai dari suatu tempat. Suatu tempat dikatakan mempunyai makna, bila dapat membantu memahami masa lalu, memperkaya masa kini, dan dapat menjadi nilai untuk generasi yang akan datang. Termasuk di dalamnya adalah, nilai estetis, nilai sejarah, nilai estetika, nilai ilmiah, dan nilai sosial termasuk dalam konsep makna kultural seperti tertuang dalam piagam Burra (Burra Charter, 1981). Pendekatan yang dilakukan oleh Catanese (1986), merumuskan kriteria yang digunakan dalam menentukan objek konservasi sebagai berikut: estetika, kejamakan, kelangkaan, keluarbiasaan/keistimewaan, peran sejarah, dan memperkuat kawasan. Bahkan objek yang akan dikonservasikan menurut Pontoh (1992), dapat dikategorikan sebagai berikut: nilai (value) dari objek, fungsi objek dalam lingkungan kota, dan fungsi lingkungan dan budaya. Gagasan ini pun dilanjutkan oleh Attoe dalam Catanese & Snyder (1992:423-425) yang memberikan pendapat, bahwa perbedaan kualitas dan tingkat pentingnya dalam menentukan objek konservasi didasarkan pada lima pertimbangan sebagai berikut: dianggap yang pertama, patut diperhatikan menurut sejarah, perlu dicontoh, tipikal, dan langka. Namun pertimbangan objek tadi belum cukup masih diperlukan parameter, yang oleh Fitch dalam Nurmala (2003:29) diungkapkan melalui tiga parameter konservasi dalam menentukan lingkup objek konservasi, yaitu skala, tipe dan artefak, dan ukuran dari artefak. Pendekatan ini ada kelemahannya, yaitu penerjemahan maupun penilaian terhadap makna kultural suatu bangunan kuno bersifat subjektif dalam artian tergantung pada masing-masing orang untuk menilai. Diperlukan adanya penelaahan budaya yang lebih mendalam lagi, agar nilai budaya yang terdapat dalam bangunan maupun kawasan bersejarah itu dapat terungkap dengan baik melalui pendekatan makna kulturalnya.
3. KESIMPULAN
Kearifan lokal merupakan bagian dari tradisi-budaya masyarakat suatu bangsa, yang muncul menjadi bagian-bagian yang ditempatkan pada tatanan fisik bangunan (arsitektur) dan kawasan (perkotaan), dalam geografi kenusantaraan sebuah bangsa. Secara fisik arsitektural dalam lingkungan binaan, permukiman tradisional dapat diperlihatkan keragaman bentuk kearifan, salah satunya diwujudkan dalam bentuk dan pola tatanan permukimannya. Nilai-nilai adat tradisi-budaya yang dihasilkan mempunyai tingkat kesakralan yang berbeda dari masing-masing daerah di nusantara ini, sesuai dengan keragaman etnis yang menempatkan daerah atau wilayah tersebut. Dalam arsitektur perkotaan, bangunan-bangunan peninggalan kolonial beserta kawasan bersejarahnya dapat memberikan irama sebagai pengikat pola maupun urutan klimaks dan anti klimaks masih dapat ditemukan di beberapa kawasan. Hal ini terjadi, karena perubahan fisik arsitektur dan lingkungan binaan baru tidak memperhatikan harmonisasi kearifan lokal dari bangunan dan kawasan yang telah ada sebelumnya. Sebenarnya pendekatan lain juga dapat digunakan dalam mengungkapkan nilai kearifan lokal, yaitu melalui pendekatan teori di dalam mengkaji arsitektur bangunan maupun kawasan perkotaannya. Dengan demikian kearifan lokal/setempat dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat.
REFERENSI
Antariksa, 2004. Pendekatan Sejarah dan Konservasi Perkotaan Sebagai Dasar Penataan Kota. Jurnal PlanNIT. 2 (2): 98-112.
Antariksa, 2005. Permasalahan Konservasi Dalam Arsitektur dan Perkotaan. Jurnal Sains dan Teknologi EMAS. 15 (1): 64-78.
Antariksa, 2007. Pelestarian Bangunan Kuno Sebagai Aset Sejarah Budaya Bangsa. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sejarah dan Pelestarian Arsitektur Pada Fakultas Teknik Universitas Brawijaya. Universitas Brawijaya Malang, 3 Desember 2007.
Antariksa, 2008. Memahami Sejarah Kota Sebuah Pengantar. http://antariksaarticle.blogspot.com. (Diakses 12 April 2009)
Antariksa, 2009a. Pemahaman Tentang Sosio-Antropologi Perkotaan. http://antariksaarticle.blogspot.com. (Diakses 5 April 2009).
Antariksa, 2009b. Peradaban Dalam Sejarah Perkotaan. http://antariksaarticle.blogspot.com. (Diakses 11 April 2009).
Budihardjo, E. 1985. Arsitektur dan Pembangunan Kota di Indonesia. Bandung: Alumni.
Budihardjo, E. 1997. Arsitektur, Pembangunan dan Konservasi. Jakarta: Djambatan.
Budihardjo, E. 1997. Tata Ruang Perkotaan. Bandung: Alumni.
Burhan, I.M., Antariksa & Meidiana, C. Pola Tata Ruang Permukiman Tradisional Gampong Lubuk Sukon, Kabupaten Aceh Besar. arsitektur e-Journal. 1 (3):172-189. http://antariksae-journal.blogspot.com. (Diakses 25 April 2009)
Dewi, P.F.R., Antariksa, Surjono. 2008. Pelestarian Pola Perumahan Taneyan Lanjhang Pada Permukiman di Desa Lombang Kabupaten Sumenep. arsitektur e-Journal. 1 (2): 94-109. http://antariksae-journal.blogspot.com. (Diakses 27 April 2009)
Eade, J. 1997. Introduction, in John Eade, Ed. Living the Global City, Globalization as Local Process. London: Routledge.
Hardiyanti, N. S., Antariksa & Hariyani, S., 2005. Studi Perkembangan dan Pelestarian Kawasan Keraton Kasunannan Surakarta. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur. 33 (2):112-124.
Ibrahim, E., Antariksa & Dwi Ari, I. R., 2007. Pelestarian Kawasan Keraton Kasepuhan Cirebon. Jurnal Sains dan Teknologi EMAS. 17 (1): 48-66.
Juwono, S. 2005. Keberadaan Kampung Kota di Kawasan Segitiga Emas Kuningan Konstribusi Pada Rancang Kota. Makalah dalam Seminar Nasional PESAT 2005. Universitas Gunadarma. Jakarta, 23-24 Agustus 2005.
Krisna, R., Antariksa & Dwi Ari, I. R., 2005. Studi Pelestarian Kawasan Wisata Budaya di Dusun Sade Kabupaten Lombok Tengah. Jurnal PlanNIT. 3 (2):124-133.
Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Lynch, K. 1960. The Image of the City. Cambridge: MIT Press.
Nurmala. 2003. Panduan Pelestarian Bangunan Tua/Bersejarah di Kawasan Pecinan-Pasar Baru, Bandung. Tesis. Tidak Diterbitkan. Bandung: ITB.
Permatasari, I., Antariksa & Rukmi, W.I., 2008. Permukiman Perdesaan di Desa Trowulan Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto. arsitektur e-Journal. 1 (2): 77-93. http://antariksae-journal.blogspot.com. (Diakses 3 Mei 2009)
Rapoport, A. 1990. History and Precedent in Environmental Design. New York: Plenum Press.
Rappoport, A. 1969. House Form and Culture. New Jersey: Prontise Hill Inc. Englewood Cliffs.
Rypkema, D.D. 2008. Heritage Conservation and Local Economy. Global Urban Development Magazine. 4 (1):1
Sartini, 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebagai Kajian Filsafati. Jurnal Filsafat. 37 (2): 111-120. http://desaingrafisindonesia.wordpress.com/2009/02/menggalikearifanlokalnusantara1.pdf (Diakses 10 April 2009)
Sayuti, S.A. 2005. Menuju Situasi Sadar Budaya: Antara “Yang Lain” dan Kearifan Lokal. http://www.semipalar.net. (Diakses 12 April 2009).
Stelter, G.A. 1996. Introduction to the Study of Urban History, Part I General Concept and Sources. University of Guelph 49 -464 Reading a Community: 1-7.
Trancik, R. 1986. Finding Lost Space: Theories of Urban Design. New York: Van Nostrand.
Tulistyantoro, L. 2005. Makna Ruang Pada Tanean Lanjang Di Madura. Dimensi Interior. 3 (2): 137-152.
Zahnd, M. 1999. Perancangan Kota Secara Terpadu. Yogyakarta: Kanisius.
Abstrak
Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral maupun profan. Kearifan lokal telah menjadi tradisi-fisik-budaya, dan secara turun-temurun menjadi dasar dalam membentuk bangunan dan lingkungannya, yang diwujudkan dalam sebuah warisan budaya arsitektur perkotaan. Arsitektur perkotaan dan lingkungan binaan, yang digali dan sumber-sumber lokal, jika ditampilkan dalam 'wajah atau wacana ke-indonesiaan' niscaya memiliki sumbangan yang sangat besar bagi terciptanya identitas baru keseluruhan bagi bangsa secara keseluruhan. Di dalam permukiman tradisional, dapat ditemukan pola atau tatanan yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kesakralannya atau nilai-nilai adat dari suatu tempat tertentu. Hal tersebut memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan suatu lingkungan hunian atau perumahan tradisional. Nilai-nilai adat yang terkandung dalam permukiman tradisional menunjukkan nilai estetika serta local wisdom dari masyarakat tersebut. Keanekaragaman sosial budaya masyarakat pada suatu daerah tidak terbentuk dalam jangka waktu yang singkat. Demikian pula, penggunaan teor-teori untuk menggali kearifan lokal, dapat mengungkapkan nila-nilai arsitektur bangunan maupun kawasan dari suatu tempat. Dengan demikian local wisdom (kearifan lokal/setempat): dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat.
Kata kunci: kearifan lokal, arsitektur perkotaan, persepsi budaya
1. PENDAHULUAN
Penegasan dalam arsitektur perkotaan sudah sangat jelas, bahwa konteks budaya yang terdapat di dalamnya, menjadi bagian utama untuk digali dan dicari. Apa yang melatarbelakanginya dan bagaimana cara mengungkapkannya, agar nilai budaya itu dapat memberikan arti dan membuka wawasan bagi perencanaan dan perancangan perkotaan di masa mendatang. Perjalanan budaya suatu kawasan yang di dalamnya terdapat manusia dan bangunan, telah memberikan ciri khas pada kehidupan masyarakat dalam sejarah peradaban bangsa. Peradaban sendiri, diistilahterjemahkan dari civilization, dengan kata latin civis (warga kota) dan civitas (kota; kedudukan warga kota). Hal itu diistilahkan oleh Franz Boas menjadi lahirnya kultur sebagai akibat dari pergaulan manusia dengan lingkungan alamnya. Meliputi budaya materiil, relasi sosial, seni, agama, dan sistem moral serta gagasan dan bahasa. Definisi budaya juga memberikan tekanan pada dua hal: pertama, unsur-unsurnya baik yang berupa adat kebiasaan atau gaya hidup hidup masyarakat yang bersangkutan; dan kedua, fungsi-fungsi yang spesifik dari unsur-unsur tadi demi kelestarian masyarakat dan solidaritas antar individu (Antariksa, 2009b). Kearifan lokal telah menjadi tradisi-fisik-budaya, dan secara turun-temurun menjadi dasar dalam membentuk bangunan dan lingkungannya, yang diwujudkan dalam sebuah warisan budaya perkotaan. Benar adanya bahwa, pengakuan tentang warisan budaya (cultural heritage) yang di dalamnya terdapat konservasi, adalah merupakan bagian dari tanggungjawab seluruh tingkatan pemerintahan, dan anggota masyarakat, sedangkan heritage itu sendiri, adalah bukan sekedar mendata masa lampau, tetapi merupakan bagian integral dari identitas perkotaan saat ini dan masa mendatang. Menampilkan kembali atau mempertahankan ruang kota masa lalu, berarti memperhatikan elemen-elemen jalan (street-furniture) dan pembentuk ruangnya, baik tata hijau (soft-landscape) maupun perkerasannya (hard-landscape). Ahli perkotaan Witold Rybezynski mengatakan “budaya telah menjadi industri besar di beberapa kota tua”. Kota-kota tetap pada lokasi dari budaya yang paling utama –museum, teater, auditorium, dan universitas, juga pabrik-pabrik dan beberapa kantor– ada pada suburbans. Mereka menjadi tujuan wisata karena daya tarik budayanya. Bagian yang paling menonjol dari budaya kota-kota di Eropa adalah lingkungan binaan bersejarah.
2. HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1 Mencari Makna Kaerifan Lokal
Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum makna local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat. Menurut Gobyah dalam Sartini (2004:112) mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan maupun produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Pada bagian lain, Geriya dalam Sartini (2004:112), mengatakan bahwa secara konsepsual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga.
Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami penguatan (reinforcement). Apabila suatu tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan. Kearifan adat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh ketentuan agama. (Sartini, 2004:112)
Kearifan-kearifan lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan dalam pembentukan jatidiri bangsa secara nasional. Kearifan-kearifan lokal itulah yang membuat suatu budaya bangsa memiliki akar (Sayuti, 2005). Motivasi menggali kearifan lokal sebagai isu sentral secara umum adalah untuk mencari dan akhirnya, jika dikehendaki, menetapkan identitas bangsa, yang mungkin hilang karena proses persilangan dialektis seperti dikemukakan di atas, atau karena akulturasi dan transformasi yang telah, sedang, dan akan terus terjadi sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Bagi kita, upaya menemukan identitas bangsa yang baru atas dasar kearifan lokal merupakan hal yang penting demi penyatuan budaya bangsa di atas dasar identitas daerah-daerah Nusantara (Sayuti, 2005). Dalam kaitan ini, kearifan lokal yang terkandung dalam sistem seluruh budaya daerah atau etnis yang sudah lama hidup dan berkembang adalah menjadi unsur budaya bangsa yang harus dipelihara dan diupayakan untuk diintegrasikan menjadi budaya baru bangsa sendiri secara keseluruhan. Pengembangan kearifan-kearifan lokal yang relevan dan kontekstual memiliki arti penting bagi berkembangnya suatu bangsa, terutama jika dilihat dari sudut ketahanan budaya, di samping juga mempunyai arti penting bagi identitas daerah itu sendiri. Kearifan lokal yang juga meniscayakan adanya muatan budaya masa lalu, dengan demikian, juga berfungsi untuk membangun kerinduan pada kehidupan nenek moyang, yang menjadi tonggak kehidupan masa sekarang.
Karya-karya arsitektur perkotaan, yang digali dan sumber-sumber lokal, jika ditampilkan dalam 'wajah atau wacana ke-indonesiaan' niscaya memiliki sumbangan yang sangat besar bagi terciptanya identitas baru keseluruhan bagi bangsa secara keseluruhan. Menurut Juwono (2005:76, identitas keruangan adalah salah satu kekayaan sosial budaya untuk meneguhkan keberadaan masyarakat dalam proses perubahan sosial budaya lingkungannya. Dalam perancangan kota, penguatan akan potensi lokal menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi dampak permasalahan peningkatan konflik serta adanya kesenjangan menjadi persoalan yang urgen. Perhatian terhadap potensi lokal arsitektur kawasan sebagai “daya tarik serta keunggulan” kota menjadi penyeimbang sinergi globalisasi lokal (Eade, 1977). Kekuatan dari kearifan lokal tersebut berupa nilai masa lalu atau saat ini maupun perpaduan dari keduanya yang memiliki signifikasi dan keunikan. Kenyataan kota-kota dalam masa sekarang ini cenderung kehilangan kekuatan tradisi kelokalannya yang semakin larut masuk dalam dinamika global. Konservasi kawasan merupakan sebuah tantangan dalam perancangan kota, hal ini dimungkinkan karena proses perkembangan dan pertumbuhan kota untuk memperhatikan nilai histories dan dinamika dari kawasan tersebut.
2.2 Kearifan Lokal dalam Tatanan Tradisionalistik
Di dalam permukiman tradisional, dapat ditemukan pola atau tatanan yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kesakralannya atau nilai-nilai adat dari suatu tempat tertentu. Hal tersebut memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan suatu lingkungan hunian atau perumahan tradisional. Nilai-nilai adat yang terkandung dalam permukiman tradisional menunjukkan nilai estetika serta local wisdom dari masyarakat tersebut. Terdapat suatu elemen utama dari hal yang sakral tersebut pada permukiman tradisional. Jika permukiman dianggap sebagai suatu lingkungan yang diperadabkan, maka bagi kebanyakan masyarakat tradisional di lingkungan tersebut, menurut ketentuan, merupakan lingkungan yang sakral atau disucikan. Alasan pertama adalah karena orang-orang banyak berpandangan bahwa masyarakat-masyarakat tradisional selalu terkait dengan hal-hal yang bersifat religius. Agama dan kepercayaan merupakan suatu hal yang sentral dalam sebuah permukiman tradisional. Hal tersebut tidak dapat terhindarkan, karena orang-orang akan terus berusaha menggali lebih dalam untuk mengetahui makna suatu lingkungan yang sakral atau disucikan, karena hal itu menggambarkan suatu makna yang paling penting. Kedua, sebuah pandangan yang lebih pragmatik, adalah bahwa hal yang sakral tersebut serta ritual keagamaan yang menyertainya dapat menjadi efektif untuk membuat orang-orang melakukan sesuatu di dalam sesuatu yang disahkan atau dilegalkan (Rapoport, 1969).
Pola tata ruang permukiman tradisional Aceh merupakan khasanah warisan budaya yang cukup menonjol, diciptakan dan didukung oleh masyarakat yang bercirikan Islam dan kultur budaya setempat, sehingga pola tata ruang yang terbentuk mempunyai nilai-nilai religi dan budaya yang sangat tinggi. Secara tradisional, pola pemukiman di Aceh terdiri dari rumah-rumah yang dikelompokkan berdasarkan kekerabatan yang diselingi dengan wilayah terbuka yang berfungsi sebagai wilayah publik dan wilayah penyangga hijau. Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, jejak-jejak kearifan para arsitek jaman dahulu masih dapat ditemukan. Seperti rumah-rumah tradisional lain di Asia Tenggara, rumoh (rumah) Aceh berupa rumah panggung, yang dirancang sesuai dengan kondisi iklim, arah angin dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Tidak sekadar sebagai hunian, rumoh Aceh juga menyiratkan budaya dan tata cara hidup orang Aceh yang kaya makna. Rumoh Aceh hingga kini masih bisa ditemui di desa-desa di kawasan pantai timur, mulai dari Aceh Timur hingga Aceh Besar. Namun, jumlahnya terus berkurang. Salah satu permukiman tradisional yang masih bertahan adalah Gampong Lubuk Sukon, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar. Gampong ini terletak di dataran rendah, dekat dengan pegunungan, yang sebagian besar rumah penduduknya adalah rumah panggung tradisional Aceh yang terbuat dari kayu. Rumah-rumah di Gampong Lubuk Sukon, secara bijak dirancang dengan prinsip tahan gempa. Observasi Hurgronje (1985) membuktikan bahwa hunian masyarakat (permukiman) Aceh telah disesuaikan terhadap ancaman bencana gempa dan banjir. Orang Aceh, khususnya yang bermukim di wilayah Banda Aceh (dahulu disebut dengan Kutaradja) dan Aceh Besar, sejak tahun 1600 telah sadar bahwa letak kota mereka secara geografis tidak terlalu baik (Lombard, 2006). Pola yang terbentuk dari keseluruhan sistem permukiman masyarakat Gampong Lubuk Sukon memiliki makna dan tujuan tertentu berdasarkan konsep-konsep lokal yang telah terbukti dapat lebih diterima oleh masyarakat penggunanya. Kebijakan mengenai aspek adat dan kehidupan Gampong yang tertuang dalam bab VII Qanun nomor 4 tahun 2003 yang menyatakan bahwa Gampong berhak untuk merancang dan menetapkan reusam Gampong (tata krama peradatan di Aceh) untuk mengatur kehidupan warganya, menjadi dasar untuk menghidupkan kembali adat yang semakin menghilang akibat pergeseran nilai-nilai masyarakat. Oleh karena itu, penjelasan mengenai konsep bermukim sangat penting dalam kaitannya dengan proses pembentukan lingkungan permukiman. Melalui latar belakang dan pengalaman sejarah, dan pemahaman mengenai pola tata ruang permukiman yang sesuai dengan nilai-nilai tradisional masyarakat Aceh, diharapkan dapat mengakomodasi, menghormati dan memelihara keberadaan Gampong, sekaligus sebagai wujud pelestarian tata ruang tradisional sebagai identitas budaya bangsa. (Burhan, 2008)
Pengaruh kepercayaan pada permukiman Dusun Sade Lombok, antara lain terlihat pada pemilihan lokasi permukiman dan orientasi bangunannya. Lokasi permukiman dipilih pada daerah yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya, yaitu pada daerah perbukitan dengan pertimbangan sebagai berikut (Mahayani, 1995:35): (1) Kepercayaan terhadap kosmos tentang adanya kekuatan alam gaib yang barada di alam atas dan dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai sumber rahmat keselamatan sekaligus kutukan dan kesengsaraan; (2) Faktor keamanan, puncak bukit merupakan tempat yang strategis untuk mengatur pertahanan mengingat adanya konflik antara Dusun Sade dengan dusun-dusun lainnya; (3) Faktor kesuburan tanah, perbukitan merupakan daerah yang kurang subur karena banyak mengandung kapur, sedangkan daerah sekitarnya yang berupa dataran rendah merupakan daerah yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian untuk mata pencaharian masyarakat setempat. Rumah-rumah di Dusun Sade terbuat dari bahan-bahan yang berasal dari alam, seperti kayu, bambu dan alang-alang, dengan letak rumah yang berderet dan berdekatan, sehingga membentuk pola linear dengan orientasi ke arah timur dan barat. Arah orientasi rumah-rumah tersebut tidak tepat menghadap ke timur dan barat melainkan agak miring sesuai dengan topografi kawasan. Orientasi ini didasarkan kepada arah matahari yang dipercaya akan memberikan berkah. Arah timur diartikan sebagai penewu jelu, yaitu tempat matahari terbit dan arah barat diartikan sebagai penyerap jelu, yaitu tempat matahari terbenam. Selain itu juga adanya pantangan untuk menghadap ke utara karena mengarah ke Gunung Rinjani yang dianggap sebagai tempat suci karena merupakan tempat bersemayamnya Dewa Gunung Rinjani, yaitu dewa tertinggi yang menguasai seluruh Pulau Lombok (Krisna, 2005). Rumah-rumah tersebut memiliki ukuran yang sama dengan menggunakan bahan-bahan dari alam sekitar serta memiliki bentuk yang sederhana. Keseragaman pada bentuk maupun bahan bangunan yang digunakan, diartikan sebagai kesamaan asal usul yaitu dari segumpal tanah. Oleh karena itu, sebagai manusia yang sama asal dan derajatnya maka rumah tinggal sebagai tempat hunian mereka di dunia juga harus sama.
Ciri dari permukiman tradisional sebagai wujud budaya khas adat dapat ditemukan pada pola perumahan taneyan lanjhang yang merupakan ciri khas arsitektural Madura yang memiliki tatanan berbeda dengan nilai adat tradisi Madura yang kental mengusung nilai dan sistem kekerabatan yang erat dan masih dapat ditemukan kesakralannya pada beberapa wilayah di Pulau Madura. Karakteristik orisinil masyarakat Madura cenderung memiliki corak perumahan tidak mengarah pada bentuk desa berkerumun tetapi lebih kepada corak berpencar. Membuat koloni-koloni dalam rupa kampung-kampung kecil. Ada juga satu pekarangan yang terdiri dari empat atau lima keluarga. Ekspresi ruang pada susunan rumah tradisional Madura, atau yang lazim disebut taneyan lanjhang adalah salah satu contoh hasil olah budaya yang lebih didasarkan kepada makna yang mendasari pola pemikiran masyarakatnya. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh keberadaan dan cara hidup masyarakatnya. Makna ruang tidak hanya didasari oleh pengertian estetis dan visual semata. Pemaknaan lebih didasarkan kepada esensi terdalam dari apa yang ada dalam alam pemikiran masyarakatnya karena itulah ekspresi visual adalah cerminan nilai dasar dari jati diri masyarakatnya (Tulistyantoro, 2005). Pola perumahan taneyan lanjhang, merupakan pola yang terbentuk karena adanya tradisi bermukim masyarakat Desa lombang dipengaruhi oleh garis matrilineal dengan membentuk satu pola permukiman yang disebut sebagai pola permukiman taneyan lanjhang (halaman panjang). Menurut Zawawi Imron (survey primer 2008), permukiman taneyan lanjhang merupakan konsep bermukim yang mengacu pada kekerabatan yang mengandung ajaran untuk memberikan eksistensi pada perempuan. Sedangkan menurut Edy, budayawan Madura (survey primer 2008) dikatakan bahwa konsep taneyan lanjhang yang merupakan budaya bermukim masyarakat Madura pada umumnya timbul karena kondisi geografis yang kurang menguntungkan (kering/tandus) menyebabkan diperlukan banyak tenaga untuk mengelola lahan tersebut sehingga perempuan dianggap sebagai aset bagi keluarga dalam menambah jumlah tenaga (membawa suami untuk masuk ke dalam lingkungan keluarga perempuan karena berlakunya tradisi matrilokal). Taneyan sendiri difungsikan sebagai pengikat antar bangunan yang menunjukkan kekerabatan yang erat (matrilokalitas) serta sebagai orientasi dan arah hadap bangunan. (Dewi, 2008)
Kegiatan adat dan budaya yang berkembang di Desa Trowulan merupakan perpaduan antara nilai tradisi Jawa dan Majapahit, tradisi tersebut masih dipakai di tengah kehidupan masyarakatnya. Tradisi yang paling dominan dan menonjol adalah hanya bersifat periodik atau waktu tertentu, yaitu cok bakal, tingkep, among-among, tandur, keleman, wiwit dan bersih desa. Tradisi dan budaya tersebut mempengaruhi bentuk pola permukiman (pola hunian) baik internal maupun eksternal. Aspek pola hunian menguraikan mengenai tipologi desa dan pola permukiman desa. Pola permukiman yang ada di Desa Trowulan terdiri atas, mengumpul dengan orientasi rumah adalah halaman yang digunakan secara bersama (komunal), linier dengan orientasi rumah adalah jalan, serta linier memusat dengan orientasi rumah adalah jalan dan cenderung terpisah dengan dusun yang lain. Pola permukiman ini kemudian di bagi lagi menjadi unit yang lebih kecil lagi, yaitu pola hunian. Karakteristik non fisik masyarakat pada pola hunian dengan orientasi halaman bersama cenderung melakukan aktivitas sosial dan sistem nilai yang sama, hal ini didukung dengan hubungan kekerabatan yang ada masih sangat erat, karena mereka adalah satu keturunan yang sama. Secara umum bentuk arsitektur tradisional di daerah Kabupaten Mojokerto, sebuah kawasan peninggalan kerajaan Majapahit dapat dilihat bahwa perkembangan arsitektur Mojokerto dipengaruhi oleh dua budaya etnis, yaitu budaya Jawa dan budaya Madura. Kedua budaya inilah yang nampaknya sangat dominan pengaruhnya, walaupun sebenarnya masih terdapat etnis lain, seperti suku Osing dari Banyuwangi dan para pendatang yang sebagian besar berasal daerah pesisir. Dengan demikian maka pola permukiman yang ada di Kabupaten Mojokerto sedikit banyak mempunyai persamaan dengan pola permukiman yang berkembang di daerah Madura. (Permatasari, 2008)
2.3. Peninggalan Kolonial dan Kearifan Lokal
Bangunan peninggalan Kolonial Belanda yang masih ada di Kawasan Oranjebuurt terdiri dari bangunan yang dibangun pada perioede awal tahun 1900 sampai dengan sebelum tahun 1930 (sekitar tahun 1914-1918) dan bangunan yang dibangun sekitar tahun 1930-an. Bangunan yang dibangun sekitar tahun 1914-1918 memiliki desain bangunan yang secara keseluruhan terkesan lebih dekoratif dan detail dari bangunan berlanggam tahun 1930-an. Secara umum, fasade bangunan pada masing-masing sisi ruas jalan di Kawasan Oranjebuurt Kota Malang kurang memiliki legibilitas (kemudahan untuk dipahami atau dibayangkan dan dapat diorganisir sebagai suatu pola yang koheren). Unsur irama sebagai pengikat pola maupun urutan klimaks dan anti klimaks sulit ditemukan karena perubahan fisik bangunan baru tidak memperhatikan harmonisasi dengan bangunan yang telah ada sebelumnya. Walaupun hanya tersisa beberapa bangunan, masih terdapat beberapa bangunan peninggalan Kolonial Belanda yang memperlihatkan suatu harmonisasi antar fasade bangunannya, pengakitan yang digunakan di antarnya adalah proksimity, reproduksi dan penutup berkesinambungan. Skala ketinggian bangunan di Kawasan Oranjebuurt tidak membentuk suatu kesan ruang, karena memiliki garis sempadan bangunan yang cukup besar, sehingga jarak antar muka bangunannya rata-rata empat kali lebih besar dari ketinggian bangunan. (Novayanto, 2008) Keteraturan ruang pada Kawasan Oranjebuurt secara makro terbentuk oleh kaitan visual ruang terbuka (open space/void) yang lebih dominan, sedangkan massa bangunan (solid) lebih kepada sebagai infill saja. Void yang membentuk kaitan visual di Kawasan Oranjebuurt terdiri dari struktur jaringan jalan yang memperkuat orientasi kawasan. Solid atau massa yang terdapat di Kawasan Oranjebuurt memiliki peran dalam elemen perkotaan sebagai blok medan, yaitu sebagai massa yang memiliki berbagai macam bentuk dan orientasi, namun masing-masing tidak dilihat sebagai individu, melainkan dilihat sebagai keseluruhan massa secara bersama. (Novayanto, 2008)
2.4 Persepsi Budaya dalam Arsitektur Perkotaan
Persepsi budaya dalam perkotaan pertama digunakan dalam antropologi. Hal ini ditegaskan oleh Clifford Geertz dalam The Interpretation of Culture (1973), seikat dari aktifitas dan nilai yang membentuk karakter dari masyarakat, dalam kasus ini adalah masyarakat perkotaan. Kedua, digunakan secara terbatas di tempat budaya disamakan dengan seni dan kebiasaan, dan terutama dengan bidang melukis dan musik. Dalam pandangan Lewis Mumford melalui The Culture of Cities (1938)nya mengatakan bahwa, kota mempunyai creative focal points bagi masyarakat, dan kota ..….. adalah titik maksimum konsentrasi untuk power and culture dari komuniti. Kota dibentuk oleh budaya, tetapi sebaliknya kota dipengaruhi wujud dari budaya itu. Kota dibentuk bersama-sama dengan langgam, menurut Mumford sangat manusiawi, dan merupakan “greatest work of art”. Di dalam kota, waktu menjadi visibel, dengan lapisan-lapisan dari masa lalu yang masih bertahan pada buildings, monuments, dan public ways. Peran budaya terhadap kota dalam The City (1905), Max Weber mengatakan bahwa konsep kota menekankan kesopanan (urbanity) – wujud kosmopolitan dari urban experience. Melalui wujudnya, sebuah kota dimungkinkan menjadi puncak dari individual dan inovasi, dan hal ini menjadi instrumen dari perubahan sejarah. Dalam perkembangan penulisan sejarah di Amerika, Eric Lampard mencoba mendefinisikan sejarah kota dengan sejarah dari “urbanisasi sebagai proses kemasyarakatan”, bukan sejarah dari “kota”. Hasil dari sejarah kota yang demikian itu kemudian diberi nama the new urban history. Maksud dari pembatasan ini ialah untuk mengembalikan bidang sejarah kota kepada gejala kekotaan yang khas, yang menekankan kekotaan sebagai pusat perhatian sejarah. (Kuntowijoyo 2003:64) Di sini urbanisme menjebak masyarakat dalam kebebasan untuk menentukan tempat kehidupan berarsitektur dalam lingkungan binaannya. Pengaruh dari perkembangan arsitektur telah membebani kehidupan berarsitektur masyarakat perkotaan dan perdesaan. Aspek tatanan budaya dan fisik mereka dijadikan objek sebuah tatanan baru yang berbeda dengan geografis-kultural setempat, sehingga menenggelamkan kerifan lokal yang mereka punyai.
Keanekaragaman sosial budaya masyarakat pada suatu daerah tidak terbentuk dalam jangka waktu yang singkat. Namun terbentuk melalui sejarah yang panjang, perjalanan berliku, tapak demi tapak yang terjadi secara turun temurun dari berbagai generasi. Pada titik tertentu terdapat peninggalan-peninggalan yang eksis atau terekam sampai sekarang yang kemudian menjadi warisan budaya. Dengan demikian, proses perjalanan sejarahnya pun tidak dapat dipolitisasi bahkan direkayasa. Hal ini menjadi penting agar tidak menghentikan tradisi budaya mereka yang sudah berjalan secara turun-temurun sebagai warisan.
2.5 Teori Sebagai Alat Pengungkap Kearifan Lokal
Di kota-kota yang memiliki kekuatan fisik struktural dapat dilakukan dengan pendekatan fisik (Trancik, 1986), di samping pendekatan yang memperlihatkan aliran hubungan dan interaksi serta nilai-nilai kontekstual ruang. Setiap kota memiliki banyak fragmen tinggalan masa lalu, yaitu kawasan-kawasan bersejarah kota yang berfungsi sebagai bagian yang terdapat di dalam kota. Salah satu pendekatan yang digunakan untuk menggali kearifan lokal, adalah elemen penghubung, yaitu elemen-elemen dari linkage satu kawasan ke kawasan lain untuk membantu orang agar mengerti fragmen-fragmen kota sebagai bagian dari suatu keseluruhan yang lebih besar (Zahnd, 1999:108). Pendekatan lain adalah figure ground sering dipergunakan untuk mendeskripsikan pola masif dan void tata ruang perkotaan kawasan. Berdasarkan teori figure/ground, suatu tata kota dapat dipahami sebagai hubungan tekstual antara bentuk yang dibangun (building mass) dan ruang terbuka (open space). Figure/ground adalah alat yang sangat baik untuk mengidentifikasikan sebuah tekstur dan pola-pola sebuah tata ruang perkotaan (urban fabric), serta mengidentifikasikan masalah keteraturan massa/ruang perkotaan (Zahnd, 1999:79).
Kemudian teori place dipergunakan untuk memahami seberapa besar kepentingan tempat-tempat perkotaan yang terbuka terhadap sejarah, budaya dan sosialisasinya. Analisis place adalah alat yang baik untuk (i) memberi pengertian mengenai ruang kota melalui tanda kehidupan perkotaannya; dan (ii) memberi pengertian mengenai ruang kota secara kontekstual (Zahnd, 1999:70). Secara fisik, sebuah ruang (space) akan ada kalau dibatasi sebagai sebuah void dan sebuah space menjadi sebuah place kalau mempunyai arti dari lingkungan yang berasal dari budaya setempatnya (Trancik, 1986). Pendekatan citra kota memberikan arah pendangan kota ke arah yang memperhatikan pikiran terhadap kota dari orang yang hidup di dalamnya. Makna sebuah tempat dapat diungkapkan berdasarkan elemen-elemen pembentuk citra. Tiga dari lima elemen yang dapat mengungkapkan makna dari ciri perkotaan, yaitu district (kawasan), node (simpul), edge (batas) serta landmark (tengeran) (Lynch, 1960), kelima elemen ini tidak dapat dipandang secara terpisah antara satu dengan lainnya. Karena kelimanya akan berfungsi dan berarti secara bersamaan dalam satu interaksi. Melalui konsep mental map ruang kota menurut Lynch (1960) konservasi kawasan dapat dikembangkan kota sebagai “konstruksi collective memory”. Namun tidak demikian halnya dengan kota-kota yang tidak memiliki “struktur fisik” seperti kota-kota yang terdapat di Indonesia, dengan eksistensi kota-kota semacam ini lebih bertumpu pada kekuatan sosial budayanya.
Pendekatan sinkronik dan diakronik yang diungkapkan oleh Suprijanto (2001:108), umumnya digunakan dalam kaitannya dengan morfologi (dalam arsitektur dan kota) sebagai metode analisis. Pada morfologi atau perkembangannya, aspek diakronik digunakan untuk mengkaji satu aspek yang menjadi bagian dari satu objek, fenomena atau ide dari waktu ke waktu. Sedangkan aspek sinkronik digunakan untuk mengkaji keterkaitan antar aspek dalam kurun waktu tertentu.
Akan tetapi, pendekatan-pendekatan di atas masih belum menyentuh masalah budaya arsitektur perkotaan, yang dapat digunakan untuk melihat struktur kota yang berkaitan dengan bangunan dan kawasannya. Massa dan ruang yang akan dimaknai, belum cukup untuk dapat mengungkapkan tradisi dan budaya dibalik lingkungan binaan yang melingkupinya. Dengan kondisi budaya yang berbeda, tentunya akan memberikan hasil yang berbeda pula dengan kondisi geografis bangunan dan kawasan lainnya. Karena struktur fisik kota di masing-masing tempat berbeda dengan struktur budaya di tempat lain yang didasarkan pada struktur geografis kulturalnya. Setiap kawasan juga memiliki keunikan tersendiri terbentuk karena adanya kekhasan budaya masyarakat, kondisi iklim yang berbeda, karakteristik tapak, pengaruh nilai-nilai spiritual yang dianut, dan kondisi politik atau keamanan dari suatu kota atau daerah. Pada dasarnya potensi yang dimiliki tersebut harus mampu dimanfaatkan ataupun dikembangkan sebagai daya tarik kawasan tersebut.
Pendekatan yang lebih berorientasi pada pandangan etik harus melihat pandangan emik bagaimana kepentingan warga secara luas dan masyarakat kota secara umum. Dari disiplin perancangan kota, kasus ini menunjukkan “konstruksi sosial budaya kota” bukan konstruksi fisik seperti dapat dijumpai pada kota-kota lain di Indonesia (Juwono, 2005:82). Menghadapi kenyataan tersebut tindakan yang harus dilakukan adalah mengkaji ulang konsep dasar perancangan kawasan serta melihat kembali apakah kearifan lokal yang ada masih dapat dipertahankan. Dengan demikian fungsi ruang adalah sebagai tempat transformasi nilai sosial budaya
Demikian pula dengan makna kultural, dapat digunakan sebagai sebuah konsep yang mengusulkan kriteria untuk mengestimasi nilai dari suatu tempat. Suatu tempat dikatakan mempunyai makna, bila dapat membantu memahami masa lalu, memperkaya masa kini, dan dapat menjadi nilai untuk generasi yang akan datang. Termasuk di dalamnya adalah, nilai estetis, nilai sejarah, nilai estetika, nilai ilmiah, dan nilai sosial termasuk dalam konsep makna kultural seperti tertuang dalam piagam Burra (Burra Charter, 1981). Pendekatan yang dilakukan oleh Catanese (1986), merumuskan kriteria yang digunakan dalam menentukan objek konservasi sebagai berikut: estetika, kejamakan, kelangkaan, keluarbiasaan/keistimewaan, peran sejarah, dan memperkuat kawasan. Bahkan objek yang akan dikonservasikan menurut Pontoh (1992), dapat dikategorikan sebagai berikut: nilai (value) dari objek, fungsi objek dalam lingkungan kota, dan fungsi lingkungan dan budaya. Gagasan ini pun dilanjutkan oleh Attoe dalam Catanese & Snyder (1992:423-425) yang memberikan pendapat, bahwa perbedaan kualitas dan tingkat pentingnya dalam menentukan objek konservasi didasarkan pada lima pertimbangan sebagai berikut: dianggap yang pertama, patut diperhatikan menurut sejarah, perlu dicontoh, tipikal, dan langka. Namun pertimbangan objek tadi belum cukup masih diperlukan parameter, yang oleh Fitch dalam Nurmala (2003:29) diungkapkan melalui tiga parameter konservasi dalam menentukan lingkup objek konservasi, yaitu skala, tipe dan artefak, dan ukuran dari artefak. Pendekatan ini ada kelemahannya, yaitu penerjemahan maupun penilaian terhadap makna kultural suatu bangunan kuno bersifat subjektif dalam artian tergantung pada masing-masing orang untuk menilai. Diperlukan adanya penelaahan budaya yang lebih mendalam lagi, agar nilai budaya yang terdapat dalam bangunan maupun kawasan bersejarah itu dapat terungkap dengan baik melalui pendekatan makna kulturalnya.
3. KESIMPULAN
Kearifan lokal merupakan bagian dari tradisi-budaya masyarakat suatu bangsa, yang muncul menjadi bagian-bagian yang ditempatkan pada tatanan fisik bangunan (arsitektur) dan kawasan (perkotaan), dalam geografi kenusantaraan sebuah bangsa. Secara fisik arsitektural dalam lingkungan binaan, permukiman tradisional dapat diperlihatkan keragaman bentuk kearifan, salah satunya diwujudkan dalam bentuk dan pola tatanan permukimannya. Nilai-nilai adat tradisi-budaya yang dihasilkan mempunyai tingkat kesakralan yang berbeda dari masing-masing daerah di nusantara ini, sesuai dengan keragaman etnis yang menempatkan daerah atau wilayah tersebut. Dalam arsitektur perkotaan, bangunan-bangunan peninggalan kolonial beserta kawasan bersejarahnya dapat memberikan irama sebagai pengikat pola maupun urutan klimaks dan anti klimaks masih dapat ditemukan di beberapa kawasan. Hal ini terjadi, karena perubahan fisik arsitektur dan lingkungan binaan baru tidak memperhatikan harmonisasi kearifan lokal dari bangunan dan kawasan yang telah ada sebelumnya. Sebenarnya pendekatan lain juga dapat digunakan dalam mengungkapkan nilai kearifan lokal, yaitu melalui pendekatan teori di dalam mengkaji arsitektur bangunan maupun kawasan perkotaannya. Dengan demikian kearifan lokal/setempat dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat.
REFERENSI
Antariksa, 2004. Pendekatan Sejarah dan Konservasi Perkotaan Sebagai Dasar Penataan Kota. Jurnal PlanNIT. 2 (2): 98-112.
Antariksa, 2005. Permasalahan Konservasi Dalam Arsitektur dan Perkotaan. Jurnal Sains dan Teknologi EMAS. 15 (1): 64-78.
Antariksa, 2007. Pelestarian Bangunan Kuno Sebagai Aset Sejarah Budaya Bangsa. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sejarah dan Pelestarian Arsitektur Pada Fakultas Teknik Universitas Brawijaya. Universitas Brawijaya Malang, 3 Desember 2007.
Antariksa, 2008. Memahami Sejarah Kota Sebuah Pengantar. http://antariksaarticle.blogspot.com. (Diakses 12 April 2009)
Antariksa, 2009a. Pemahaman Tentang Sosio-Antropologi Perkotaan. http://antariksaarticle.blogspot.com. (Diakses 5 April 2009).
Antariksa, 2009b. Peradaban Dalam Sejarah Perkotaan. http://antariksaarticle.blogspot.com. (Diakses 11 April 2009).
Budihardjo, E. 1985. Arsitektur dan Pembangunan Kota di Indonesia. Bandung: Alumni.
Budihardjo, E. 1997. Arsitektur, Pembangunan dan Konservasi. Jakarta: Djambatan.
Budihardjo, E. 1997. Tata Ruang Perkotaan. Bandung: Alumni.
Burhan, I.M., Antariksa & Meidiana, C. Pola Tata Ruang Permukiman Tradisional Gampong Lubuk Sukon, Kabupaten Aceh Besar. arsitektur e-Journal. 1 (3):172-189. http://antariksae-journal.blogspot.com. (Diakses 25 April 2009)
Dewi, P.F.R., Antariksa, Surjono. 2008. Pelestarian Pola Perumahan Taneyan Lanjhang Pada Permukiman di Desa Lombang Kabupaten Sumenep. arsitektur e-Journal. 1 (2): 94-109. http://antariksae-journal.blogspot.com. (Diakses 27 April 2009)
Eade, J. 1997. Introduction, in John Eade, Ed. Living the Global City, Globalization as Local Process. London: Routledge.
Hardiyanti, N. S., Antariksa & Hariyani, S., 2005. Studi Perkembangan dan Pelestarian Kawasan Keraton Kasunannan Surakarta. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur. 33 (2):112-124.
Ibrahim, E., Antariksa & Dwi Ari, I. R., 2007. Pelestarian Kawasan Keraton Kasepuhan Cirebon. Jurnal Sains dan Teknologi EMAS. 17 (1): 48-66.
Juwono, S. 2005. Keberadaan Kampung Kota di Kawasan Segitiga Emas Kuningan Konstribusi Pada Rancang Kota. Makalah dalam Seminar Nasional PESAT 2005. Universitas Gunadarma. Jakarta, 23-24 Agustus 2005.
Krisna, R., Antariksa & Dwi Ari, I. R., 2005. Studi Pelestarian Kawasan Wisata Budaya di Dusun Sade Kabupaten Lombok Tengah. Jurnal PlanNIT. 3 (2):124-133.
Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Lynch, K. 1960. The Image of the City. Cambridge: MIT Press.
Nurmala. 2003. Panduan Pelestarian Bangunan Tua/Bersejarah di Kawasan Pecinan-Pasar Baru, Bandung. Tesis. Tidak Diterbitkan. Bandung: ITB.
Permatasari, I., Antariksa & Rukmi, W.I., 2008. Permukiman Perdesaan di Desa Trowulan Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto. arsitektur e-Journal. 1 (2): 77-93. http://antariksae-journal.blogspot.com. (Diakses 3 Mei 2009)
Rapoport, A. 1990. History and Precedent in Environmental Design. New York: Plenum Press.
Rappoport, A. 1969. House Form and Culture. New Jersey: Prontise Hill Inc. Englewood Cliffs.
Rypkema, D.D. 2008. Heritage Conservation and Local Economy. Global Urban Development Magazine. 4 (1):1
Sartini, 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebagai Kajian Filsafati. Jurnal Filsafat. 37 (2): 111-120. http://desaingrafisindonesia.wordpress.com/2009/02/menggalikearifanlokalnusantara1.pdf (Diakses 10 April 2009)
Sayuti, S.A. 2005. Menuju Situasi Sadar Budaya: Antara “Yang Lain” dan Kearifan Lokal. http://www.semipalar.net. (Diakses 12 April 2009).
Stelter, G.A. 1996. Introduction to the Study of Urban History, Part I General Concept and Sources. University of Guelph 49 -464 Reading a Community: 1-7.
Trancik, R. 1986. Finding Lost Space: Theories of Urban Design. New York: Van Nostrand.
Tulistyantoro, L. 2005. Makna Ruang Pada Tanean Lanjang Di Madura. Dimensi Interior. 3 (2): 137-152.
Zahnd, M. 1999. Perancangan Kota Secara Terpadu. Yogyakarta: Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar